Perubahan Postur APBN Akibat Meningkatnya Defisit Negara

Tri Apriyani | Mutiara Annisa Dhiya'ulhaq
Perubahan Postur APBN Akibat Meningkatnya Defisit Negara
APBN

Saat ini, pertumbuhan perekonomian dunia sedang mengalami penurunan yang drastis dampak dari Covid-19, tak terkecuali di Indonesia. Dalam hal ini peran pemerintah penting untuk menanggulangi permasalahan tersebut.

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Covid-19 serta menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional serta sistem keuangan.

Perpu ini memberikan fondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan, dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian Nasional, dan stabilitas sistem keuangan.

Untuk melaksanakan Perppu tersebut diterbitkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020. Perpres APBN 2020 perubahan ini resmi ditetapkan pada 3 April 2020. Setelah ditetapkan Perpres tersebut, maka Perpres Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2020 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dilansir dari BeritaSatu, pendapatan negara dan belanja negara mengalami pertumbuhan negatif dibandingkan tahun lalu. Sedangkan defisit mengalami peningkatan terhadap PDB lebih tinggi dibandingkan 3 tahun terakhir. Defisit APBN Indonesia hingga akhir Mei 2020 telah mencapai Rp179,6 T dan realisasi pendapatan negara sebesar Rp664,3 T.

Padahal berdasarkan Perpres Nomor 54 tahun 2020 targetnya adalah  sebesar Rp1.760,9 T. Menteri Keuangan menyampaikan defisit tersebut merupakan 21,1% terhadap pagu APBN sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2020, sebesar Rp852,9 T atau 5,07 % dari PDB.

Hal ini berarti terjadi kenaikan deficit sebesar 42,8%. Realisasi pendapatan negara mengalami kontraksi hingga 9% dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar Rp730,1 T. Kontraksi pendapatan negara ini salah satu imbas dari realisasi penerimaan pajak negara yang hanya mencapai Rp526,2 T atau 36% dari target.

Pendapatan ini turun 7,9% dibandingkan pada Mei tahun lalu. Sedangkan belanja negara terealisasi sebesar Rp834,9 T atau 32,3% dari target perubahan APBN, yaitu Rp2.0613,8 T hingga akhir Mei 2020. Realisasi tersebut turun sebesar 1,4% dibandingkan periode yang sama pada 2019 yaitu Rp855,9 T.

Penurunan pendapatan negara saat ini salah satunya diakibatkan adanya penurunan penerimaan pajak negara dengan adanya kebijakan insentif pajak bagi pelaku usaha. Insentif pajak ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam menjaga perekonomian Indonesia yang tertuang dalam PMK Nomor 44 Tahun 2020.

Tujuan dari insentif pajak itu sendiri adalah untuk meringankan beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak saat pandemi Covid-19 ini. Hal ini untuk mempertahankan arus perekonomian agar pengusaha lebih bergairah dalam melakukan aktivitas ekonominya.

Insentif tersebut yaitu berupa insentif terhadap PPh 21 untuk pegawai, pembebasan PPH 22 impor, pengurangan angsurang PPh 25, PPh final ditanggung pemerintah bagi UMKM, dan mempercepat prestitusi PPN.

Dilakukannya pembebasan PPh 22 impor adalah agar neraca perdagangan impor stabil dan pengusaha menjadi lebih bergairah untuk melakukam impor bahan bakunya sehingga dapat melakukan produksi di dalam negeri.

Percepatan prestitusi PPN dilakukan agar pengusaha dapat memiliki cashflow yang lebih baik. Sekitar 355.000 perusahaan sudah memanfaatkan kebijakan insentif pajak ini, diantaranya 192.00 UMKM. Selain itu, sebanyak 102.000 perusahaan telah memanfaatkan insentif PPh 21 yang diberikan kepada para pegawainya agar mereka memiliki daya beli yang lebih baik.

Kebijakan insentif pajak ini berlaku mulai bulan April sampai September 2020. Insentif pajak ini tidak hanya dilakukan oleh Indonesia saja, tetapi juga dilakukan di berbagai negara.

Dengan program pemulihan dan penanganan Covid-19 ini APBN 2020 kembali mengalami perubahan postur. Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pendapatan negara yang tertera dalam Perpres akan dikoreksi dari yang sebelumnya sebesar Rp1760,9 T, turun menjadi Rp1699,1 T, di mana penerimaan pajak dari Rp1462,6 T menjadi Rp1404,5 T.

Belanja Negara juga meningkat dimana yang tadinya Rp2613,8 T menjadi Rp2738,4 T dengan kenaikan sebesar Rp124,5 T akan difokuskan untuk pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19. Dengan demikian Perpres Nomor 54 Tahun 2020 mengenai postur APBN akan direvisi dan disesuaikan dengan defisit yang meningkat menjadi Rp1039,2 T atau sebesar 6,34% dari PDB.

Kenaikan defisit ini akan dijaga dengan hati-hati sesuai instruksi Presiden Joko Widodo. Dalam hal ini, akan digunakan berbagai sumber pendanaan yang memiliki resiko paling kecil dan dengan biaya yang paling kompetitif atau rendah, termasuk menggunakan sumber internal pemerintah sendiri, seperti penggunaan saldo anggaran lebih pemerintah, dana abadi pemerintah untuk bidang kesehatan dan BLU, serta penarikan pinjaman program dengan bunga rendah.

Pemerintah juga akan melakukan penerbitan Surat Berharga Negara di domestik maupun global. Selain itu, BI juga memberikan dukungan melalui kebijakan-kebijakan seperti penurunan giro wajib minimum dan BI sebagai stand by buyer di dalam pasar perdana serta sisi dukungan BI untuk berbagai program yang melibatkan pembiayaan.

Walaupun perubahan postur APBN sudah dilakukan beberapa kali, kita harus tetap optimis dengan perekonomian Indonesia yang akan kembali membaik.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak