Benarkah Tahun Baru Hijriyah, Tidak Dirayakan Secara Serentak?

Tri Apriyani | Tsaniya NR
Benarkah Tahun Baru Hijriyah, Tidak Dirayakan Secara Serentak?
Ilustrasi masjid. (Pixabay/aditya wicaksono)

Baru saja, umat Islam merayakan tahun baru hijriyah ke 1442. Dalam perayaannya, tidak ada yang namanya menyalakan petasan, kembang api dan konser tahun baru. Tahun baru hijriyah selalu dipenuhi oleh doa dan harapan-harapan yang baik untuk agama Islam itu sendiri. Namun, pernahkah umat Islam berpikir apakah tahun baru ini serentak dirayakan bersama di seluruh dunia? karena sampai dengan saat ini belum ada kesepakatan secara global terkait kalender Islam. Singkatnya, peradaban Islam yang telah berdiri selama berabad-abad tahun belum memiliki system penanggalan tunggal, itulah mengapa di Indonesia sendiri awal bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha selalu mengalami perbedaan waktu.

Keberadaan kalender tentunya dinilai penting karena sangat membantu orang yang hidup di zaman modern ini untuk mengingat dan mengatur waktu secara tepat. Tidak adanya kalender sebagai alat bantu dalam memanajemen waktu akan sangat mengganggu interaksi antar manusia dan perencanaan kebutuhan dan kegiatan di masa depan. Kalender bagi agama Islam bahkan memiliki urgensi yang lebih dalam, tidak hanya untuk memenuhi sosial tetapi kalender juga berfungsi sebagai kebutuhan spiritual. Seperti kapan saja, seorang muslim memenuhi kewajibannya untuk shalat, berpuasa, berzakat sampai menunaikan ibadah haji. Semua itu kebutuhan spiritual yang memerlukan ketepatan waktu.

Ironisnya, umat Islam sangat jarang sekali yang tahu akan hal ini. Umat Islam sudah merasa lebih nyaman dengan kalender Masehi sementara tanggal hijriyah hanya menjadi pemanis tambahan dalam kop administrasi pernanggalan. Tidak hanya kalender Masehi, umat Islam dalam kenyataannya lebih acap menggunakan kalender local seperti kalender Mesir, kalender Malaysia, kalender organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), yang masing-masing memiliki sistem penaggalan tersendiri.

Kalender-kalender tersebut tidak terlepas dari adanya kebutuhan masing-masing kawasan dan komunitas. Akibat tidak memiliki kalender Islam secara tunggal, semua kelompok mengajukan ijtihad berdasarkan persepsi masing-masing sehingga tida heran jika hari-hari besar agama Islam yang seharusnya melambangkan persatuan umat justru sering jatuh di hari yang berbeda.

Sidang Isbat di Indonesia yang diadakan dalam penetuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha melahirkan dua kubu dalam menentukan alat bantu penanggalan yakni dengan rukyat dan hisab. Penggunaan rukyat di Indonesia dinilai lebih kuat karena beberapa ulama’ mengacu pada hadis yang menyebutkan “Berpuasalah  kamu  karena  melihat  hilal (liru’yatih) dan beridulfitrilah  karena  melihatnya (liru’yatih).” Sedangkan kubu yang menggunakan hisab sebagai alat bantu melihat bahwa penggunaan rukyat sudah dianggap tidak relevan dengan era saat ini.

Menurut Prof. Syamsul Anwar guru besar UIN Sunan Kalijaga , hadis tentang penggunaan rukyat apabila dianalisis dengan analisis kausasi (ta’lili) akan didapati alasan mengapa Rasulullah saw menggunakan rukyat pada zaman itu karena Rasulullah saw dihadapkan oleh sebuah massa yang sepenuhnya belum menguasai tata cara menulis dan menghitung (ummi). Sehingga penggunaan rukyat merupakan satu-satunya alat bantu yang bisa dimungkinkan ketika itu.

Berbanding terbalik dengan era sekarang, dimana ilmu astronomi paling mutakhir begitu spektakuler, sudah saatnya umat Islam bergerak maju menggeser rukyat ke hisab. Penggeseran penggunaan rukyat ke hisab tidak berarti mengubah status hukum ibadah mahdlah.

Dalam hadis yang berbunyi “Berpuasalah  kamu  karena  melihat  hilal (liru’yatih)…”, rukyat hanya menjadi instrument-paratekstual, dan bukan bagian dari ibadah mahdlah, sehingga mengganti rukyat ke hisab hanya mengganti alat, bukan mengubah ibadah puasa Ramadhan atau Idul Fitri.

Melihat adanya perbedaan pendapat di atas, maka perlu adanya suatu upaya penyatuan kalender Islam Hijriyah yang berlaku sampai pada level internasional. Muhammadiyah telah menyampaikan kegelisahan ini dan memutuskan untuk mengkaji kalender Islam global dalam beberapa tahun silam tepatnya pada Keputusan Muktamar ke 47 di Makassar. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk peradaban umat Islam.

 Sumber : Suara Muhammadiyah

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak