Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menuduh Israel sebagai rezim apartheid yang sengaja merusak kerangka Solusi Dua Negara (Two-State Solution). Tuduhan tersebut muncul sebagai bentuk protes atas tindakan sepihak Israel yang terus mengizinkan pembangunan pemukiman masyarakat Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang merupakan wilayah Negara Palestina (State of Palestine), di mana semakin memperuncing konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung sejak 1948 tersebut.
The Jerusalem Post melansir, Abbas mengumumkan, pemerintah Palestina telah memutuskan untuk memperbarui status pengajuan keanggotaan penuh di PBB dan memberikan peringatan kepada negara mana pun, terutama AS dan Israel, agar tidak menghalangi upaya diplomatik Palestina tersebut.
Abbas menyaksikan dan mencatat pernyataan Perdana Menteri Israel, Yair Lapid, Presiden AS, Joe Biden, beserta para kepala negara lain yang menyuarakan dukungan terhadap solusi dua negara dalam beberapa sesi Sidang Majelis Umum PBB ke-77. Abbas mengapresiasi dukungan mereka tersebut.
“Ketika kita mendengar pernyataan Perdana Menteri Lapid dan Presiden Biden tentang dukungan terhadap Solusi Dua Negara, saya sangat mengapresiasi pernyataan mereka. Mendengar mereka mendukung Solusi Dua Negara, kami (pemerintah Palestina) berterima kasih atas perhatian mereka. Kita semua mengejar perdamaian, jadi mari kita buat perdamaian untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Israel-Palestina yang hidup berdampingan dengan aman, damai, stabil, dan sejahtera,” kata Abbas dalam pidatonya di hadapan delegasi Sidang Majelis Umum PBB ke-77 yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York City, New York, AS, pada Jum’at, (23/2/2022) waktu setempat
Kendati pun demikian, Abbas menganggap dukungan kedua kepala negara tersebut sebagai pesan kosong yang terus diucapkan berulang-ulang tanpa adanya tindakan nyata. Abbas mendasarkan pernyataan tersebut dengan membeberkan berbagai tindakan brutal pemerintah dan aparat keamanan Israel terhadap warga sipil Palestina selama beberapa bulan terakhir. Abbas meminta Israel dan AS agar lebih serius mengimplementasikan ketentuan solusi dua negara yang tercantum di dalam perjanjian Arab Peace Initiative yang ditandatangani oleh 10 pemimpin negara Liga Arab (Arab League) di Beirut, Lebanon, pada 27 Maret 2002 silam.
“Tetapi, hanya ada satu hal yang dapat kita gunakan untuk menguji seberapa kuat komitmen mereka terhadap solusi dua negara tersebut, yaitu pemerintah Israel harus kembali ke meja negosiasi secepat mungkin,” ucap Abbas
Presiden Palestina dari partai Fatah tersebut mendorong Israel agar segera menghentikan tindakan unilateral berupa kebijakan okupasi yang dilakukan dengan membangun pemukiman bagi masyarakat Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Abbas mengatakan, tindakan unilateral tersebut mencerminkan tindakan Israel yang tidak mempercayai perdamaian.
“Kepercayaan kami (pemerintah Palestina) untuk mewujudkan perdamaian berdasarkan hukum internasional telah memudar karena kebijakan okupasi Israel. Kebijakan tersebut membuktikan bahwa Israel tidak ingin menjalin kerja sama dengan kami. Kebijakan tersebut telah menghancurkan Perjanjian Oslo (Oslo Accords) yang telah kami tanda tangani bersama Israel pada 1993. Bahkan, dengan penuh keyakinan, Israel ingin menghancurkan solusi dua negara. Oleh karena itu, kami (pemerintah Palestina) tidak perlu lagi menganggap Israel sebagai rekan yang dapat kami ajak bicara,” kata Abbas.
Israel adalah rezim apartheid yang melakukan berbagai tindakan brutal terhadap warga Palestina
Mengutip dari The Times of Israel, di hadapan para delegasi, Abbas berujar, Israel sebagai rezim apartheid yang melakukan tindakan brutal terhadap warga sipil Palestina dan telah melakukan rangkaian tindak kejahatan terencana sejak Perdana Menteri Israel pertama, David Ben-Gurion, resmi mendeklarasikan berdirinya Negara Israel (State of Israel) pada 14 Mei 1948.
“Ini adalah kebenaran. Mereka (pemerintah Israel) adalah rezim apartheid," ujar Abbas.
Abbas menyebutkan, Israel terlibat dalam upaya perebutan lahan dan memberikan izin kepada tentara untuk melancarkan tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap aktivis dan warga sipil Palestina yang menghalangi mereka. Presiden Palestina berusia 86 tahun tersebut menuduh Israel telah melakukan 50 pembantaian terhadap warga sipil sejak 1948 sampai dengan saat ini, di mana terakhir terjadi di Jalur Gaza pada Mei 2021 terhadap milisi dan simpatisan Hamas. Presiden Palestina yang juga Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization (PLO)) tersebut menyampaikan hal tersebut sembari memegang halaman depan koran The New York Times yang memuat headline artikel mengenai 67 foto anak-anak Palestina yang tewas dibunuh oleh tentara Israel sejak 1948.
Abbas menuduh Pasukan Keamanan Israel (Israel Defense Forces (IDF)) sengaja menembak warga AS keturunan Palestina sekaligus Jurnalis Senior Al Jazeera Arabic, Shireen Abu Akleh, yang tengah melakukan liputan di kamp pengungsian Jenin di Tepi Barat pada 11 Mei 2022. Abbas juga menyayangkan sikap pemerintah AS yang menolak membuka investigasi menyeluruh terhadap motif utama penembak jitu IDF yang menembak mati Shireen di tempat. Tidak luput dari situ, Abbas juga menunjukkan foto polisi Israel yang menyerang para peziarah Palestina yang mengantarkan jenazah Shireen menuju kompleks pemakaman.
Menutup pidatonya tersebut, Abbas mengimbau kepada para delegasi yang hadir, terutama dari negara mayoritas Muslim, agar dapat mengheningkan cipta selama satu menit untuk mengenang jasa para milisi Palestina yang rela menyumbangkan darah mereka untuk kemerdekaan Palestina dan menyampaikan solidaritas penuh terhadap para aktivis Fatah serta Hamas yang masih mendekam di penjara Israel. Meski begitu, Abbas tidak menyebutkan secara gamblang tentang tunjangan pemerintah Palestina kepada para keluarga aktivis Fatah dan Hamas yang ditahan oleh tentara Israel.
“Mereka adalah pejuang berdarah asli Palestina yang masih hidup dan kami (pemerintah Palestina) tidak akan meninggalkan mereka hingga Israel bersedia membebaskan mereka dari penjara,” tutup Abbas.
Solusi Dua Negara mengatur tentang dasar hukum berdirinya negara Israel dan Palestina yang hidup berdampingan
Solusi Dua Negara (Two-State Solution) adalah kerangka resolusi konflik Israel-Palestina yang di dalamnya memuat dasar hukum berdirinya dua negara berdaulat, yaitu Negara Israel (State of Israel) yang dihuni oleh masyarakat Yahudi dan Negara Palestina (State of Palestine) yang dihuni oleh masyarakat Palestina. Resolusi konflik tersebut disetujui dalam Perjanjian Oslo (Oslo Accords) yang ditandatangani oleh Ketua PLO saat itu, Yasser Arafat, dan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, serta disaksikan oleh Presiden AS, Bill Clinton, di Oslo, Norwegia, pada 1993.
Dikutip dari Britannica, Solusi Dua Negara menyepakati tentang pemberian izin kepada PLO untuk mendirikan pemerintahan Negara Palestina setelah lima tahun sejak perjanjian ditandatangani dengan syarat segala urusan pertahanan dan kerja sama luar negeri diserahkan kepada Israel. Beberapa isu penting, seperti status hukum Yerusalem sebagai ibu kota kedua negara di masa depan, pemukiman Yahudi di Jalur Gaza dan Tepi Barat, dan proses repatriasi atau pemulangan terhadap pengungsi Palestina dapat dibahas setelah mencapai lima tahun sejak perjanjian ditandatangani.
Organisasi milisi Palestina yang bermarkas di Jalur Gaza, Hamas, menolak kerangka resolusi konflik tersebut dan memulai aksi bom bunuh diri di beberapa wilayah di Yerusalem dan Tel Aviv pada pertengahan 1990an. Pada 4 November 1995, Perdana Menteri Israel yang juga menandatangani Perjanjian Oslo, Yitzhak Rabin, ditembak mati oleh aktivis ekstremis Yahudi ketika menghadiri konferensi perdamaian.
Perundingan perdamaian menemui banyak kendala yang diawali dengan kunjungan Perdana Menteri Israel saat itu, Ariel Sharon, yang mengunjungi Bukit Bait Suci (Temple Mount) yang merupakan tempat suci bagi tiga agama, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi di Kota Lama Yerusalem pada 2000, di mana kunjungan tersebut memicu protes dari seluruh negara Muslim, termasuk Indonesia.
Ketegangan semakin memuncak tatkala tentara Israel menyerang Tepi Barat dan menjadikan Yasser Arafat sebagai tahanan rumah di Ramallah hingga Arafat meninggal dunia pada 2004. Pada 2005, Ariel Sharon mendirikan Kadima, partai politik baru untuk mengimplementasikan Solusi Dua Negara, sampai akhirnya Ehud Olmert menggantikan posisinya sebagai Ketua Partai Kadima sekaligus Perdana Menteri Israel.
Kemenangan Hamas dalam pemilihan parlemen Palestina pada 2006 menurunkan minat Israel untuk menegosiasikan perjanjian Solusi Dua Negara dengan Hamas selaku partai politik yang memegang tampuk kekuasaan legislatif Palestina pada saat itu.
Pada 2007, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, membubarkan parlemen dan mencabut status keanggotaan seluruh kader Hamas yang ada di parlemen. Keluarnya Hamas dari perpolitikan nasional Palestina membuka jalan untuk mengadakan pemilihan umum ulang dan memilih anggota parlemen yang didominasi oleh Fatah, sehingga memudahkan langkah Abbas untuk melanjutkan perundingan tentang implementasi Solusi Dua Negara dengan Israel sampai dengan 2017.
Pada 2017, AS dibawah kepemimpinan Presiden AS, Donald Trump, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dengan memindahkan gedung kedutaan dari Tel Aviv ke kota tersebut. Trump juga memotong dana bantuan kemanusiaan Palestina, dana bantuan untuk operasional United Nations Relief and Works Agency for Palestinian Refugees in the Near East (UNRWA), serta menutup kantor perwakilan PLO di Washington D.C, dengan dalih kebijakan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan nasional AS.
Pada Mei 2019, Trump meluncurkan proposal perdamaian baru yang dikenal dengan Deal of the Century. Proposal tersebut mengatur tentang pemberian bantuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur utama Palestina dan pembebasan seluruh aktivis Palestina yang mendekam di penjara Israel dengan syarat utama berupa pemberian izin permanen kepada Israel untuk tetap menjaga pemukiman Yahudi di Tepi Barat dari serangan milisi Hamas, menduduki Bukit Jordan (Jordan Valley) yang terletak di timur Tepi Barat, dan mempertahankan status Yerusalem sebagai ibu kota negara.
Kegagalan pemerintahan Trump dalam menangani pandemi Covid-19 yang menghancurkan sistem pelayanan kesehatan nasional AS membuat mantan Wakil Presiden AS 2009 – 2016, Joe Biden, berhasil memenangkan Pemilihan Presiden AS 2020 dan mengalahkan Trump. Setelah resmi dilantik sebagai Presiden AS yang baru pada 20 Januari 2021, Biden mengeluarkan Perintah Eksekutif (Executive Order) yang meminta Departemen Keuangan AS (US Department of Treasury) agar dapat kembali mencairkan dana bantuan kemanusiaan untuk Palestina secara bertahap dan membuka kembali kantor perwakilan PLO di Washington D.C, AS.