Merebahkan sejenak jiwa-raga dari riuhnya getir aktivitas yang kerap memborbadir isi kepala, barangkali jadi laku yang tidak pernah benar-benar selesai kita pijak, bahkan tatap.
Kita begitu sibuk menafsir frasa "kembali" dan "pulang" pada raga-raga lain. Kita begitu tabah untuk menyadari bahwa kembali pulang pada diri sendiri serupa perjalanan paling panjang anak manusia.
"Mengajak pulang pada dirimu," menjadi padu padan paling cocok untuk gambaran sederhana dari rangkaian acara Kharma Niskala yang saya ikuti di Restoran Secluded by Kharma Villa's Yogyakarta, Rabu (23/10).
Ada pun rangkaian acara Kharma Niskala berkolaborasi dengan berbagai komunitas dan meliputi Sugeng Rawuh Moment, Berkain Ala Jawa, Food Therapy oleh Kelir Devolopment Corner, Javanese Concept Lunch bersama Janurku, Sesi Membatik dibersamai teman-teman Difablezone Indonesia, serta Meditasi.
Beri Pengalaman "Pulang" Bersama Kosep Jawa
Hadir dengan beragam bekal untuk temani perjalanan pulang pada masing-masing kita, Kharma Niskala mengajak untuk mengambil jeda sejenak, memeluk kembali keutuhan jiwa bersama alam dan konsep-konsep Jawa.
Kharma Niskala: Mencipta Rasa, Mengolah Rasa, dan Menata Karsa, menjadi tajuk lengkap yang matang dipilih oleh Remen Jawi, selaku koordinator konsep dari acara syukuran hari ulang tahun Restoran Secluded by Kharma Villa's Yogyakarta yang keempat.
Bukan tanpa alasan, tajuk Kharma Niskala dipilih sebagai wujud kasih dan rasa syukur pada Tuhan, alam semesta, serta diharapkan mampu memberikan kesejukan batin serata mencipta rasa hingga membangun karsa kehidupan.
Konsep Jawa begitu kental terasa tidak hanya sejak dalam tajuk dan rangkaian acara, melainkan nuansa berbagai dekorasi janur hingga makanan begitu terperinci dihidangkan, bahkan dress code berkain ala Jawa dibawa khusus oleh Remen Jawi untuk para peserta yang hadir.
Para peserta dipersilakan memilih pengalaman model berkain yang mereka inginkan, lalu teman-teman panitia dari Remen Jawi begitu lihai membantu memakaikannya. Tak lupa, segelas jamu beras kencur selamat datang diberikan pada peserta saat di meja registrasi.
Adhi Jayanthaka, selaku founder dan owner dari PT Remen Jawi menuturkan bahwa Remen Jawi sebagai Javanest Concept Travel & Event Planner tak hanya ingin memberikan pengalaman pariwisata dalam bentuk rekresi ke berbagai tempat, tetapi memperkenalkan budaya Jawa lebih mendalam. Berkain menjadi salah satunya.
“Kita pengin kasih experience (wisata) dengan konsep whole package, mulai dari busananya. Busananya pun ngga cuma enak untuk travelling, tapi juga ada unsur budayanya. Terus ke tempat-tempat yang mengangkat sisi culture dan heritage, serta otentik, bahkan makanannya kita pilih yang mengangkat sisi tradition. Sementara penginapan kita pilih yang punnya sisi culture-nya,” Terang Adhi, saat ditemui di sela acara Kharma Niskala, Rabu (23/10).
Adhi juga mengatakan bahwa goals paling mendasar dalam acara Kharma Niskala, yakni membuat budaya Jawa menjadi lumrah di kalangan orang-orang muda, salah satunya melalui berkain, serta memberikan pengalaman pariwisata ketenangan batin melalui konsep “wellness and human being”.
Mengolah Luka dan Mengurai Perasaan Lewat Food Therapy
Perasaan kian dipeluk usai jamu beras kencur dan berkain mengantarkan pada hidangan serta semburat senyum Agnes Novita Andy Prastiwi, seorang konselor psikologi non-klinis yang telah menekuni dunia art therapy selama 20 tahun.
Agnes mengajak para peserta bersimpuh sesaat untuk memeluk diri, mengurai perasaan, dan mengolah luka lewat ragam warna isi lauk pauk dari gado-gado yang membentuk mandala.
Pada satu jeda rehat acara, aku berhasil membujuknya duduk untuk berbincang lebih dalam soal art therapy “Mengolah Luka” lewat makanan tradisional tersebut.
Agnes percaya bahwa teman-teman yang hadir barang pasti membawa bermacam luka, maka piring berisi lauk pauk diibaratkan jalan pintas rahasia untuk membaringkan segala rupa perasaan, diurai satu demi satu dengan perlahan.
“Apa pun luka yang dibawa teman-teman ke sini, yuk diletakkan dulu di piring ini! Sedangkan bahan-bahan (isi lauk pauk gado-gado) jadi simbol perasaan mereka. Nah, jadi masing-masing dari bahan itu mewakili perjalanan mereka,” tutur Agnes, saat ditemui di Restoran Secluded by Kharma Villa's Yogyakarta, Rabu (23/10).
Agnes juga membeberkan makna dari bentuk mandala dari gado-gado yang menemani sesi art therapy-nya pagi itu.
“Terus aku mengajak mereka untuk jalan-jalan lebih dalam (mengurai perasaan), makanya tadi bentuknya mandala atau melingkar dan berpusat di tengah, supaya dari banyak masalah yang ada mereka ngga lupa kalau ini “aku” dengan segala masalahku. Lewat gado-gado bentuk mandala itulah saya mau mengajak mereka untuk menerima (segala macam perasaan dan luka) itu,” ujarnya.
Dalam prinsip kesadaran kolektif, Agnes menjelaskan, permainan warna di art therapy tidak ada yang kebetulan. Padu padan warna pakaian yang kita kenakan meski terasa hanya asal ambil, tetapi sejatinya tubuh kitalah yang memanggil warna-warna tersebut untuk kebutuhan sang empunya di hari itu, begitu pula dengan makanan.
“Kalau tadi datang dengan perasaan (luka) pertama yang mereka tuliskan, sekarang setelah melihat susunan warna dari mandala plating itu dan kalau mandala plating itu bisa bicara, kira-kira akan bicara apa ke teman-teman? Nah, bagian (refleksi) itulah yang akhirnya membantu teman-teman mengurai perasaanya lewat makanan tadi,” tutup Agnes.
Merengkuh Kedamaian Batin dalam Goresan Corak Batik dan Daun Kelapa Muda
Masih dalam naungan seni, usai para peserta menyantap macam hidangan khas Jawa secara prasmanan pada interval sesi rehat makan siang, Remen Jawi kembali mengajak duduk sejenak menorehkan kedamaian batin lewat canting, malam, kain, dan daun kelapa muda.
Sesi lokakarya membatik tersebut dipandu oleh teman-teman dari komunitas Difablezone Indonesia, Suharto, Rahmat, dan Mulyani.
Pada sesi art therapy membatik ini, para peserta dipersilakan untuk membatik gambar apa pun yang mereka inginkan, lalu bisa menyulam kedamaian lainnya dalam beragam dekorasi janur dari daun kelapa muda bersama komunitas Janurku.
Aku bersama peserta lainnya tampak begitu tenggelam pada skenario canting yang mengikuti tiap lekuk pola gambar di atas kain batik, sembari sesering mungkin mengisi amunisi canting dengan malam mendidih.
Lantas pada simpuh sebelah kiriku, para peserta begitu menikmati menyulam selebaran-selebaran daun kelapa muda berwarna kuning khas menjadi satu bentuk umbul-umbul yang memikat mata.
Baik komunitas Difablezone Indonesia atau Janurku, mereka memproduksi hingga memasarkan karya-karya (batik dan janur) luar biasanya secara mandiri, serta terbuka untuk kolaborasi membuat lokakarya.
Suharto, salah satu individu dari Difablezone mengatakan bahwa komunitas Difablezone Indonesia hadir untuk memberdayakan teman-teman difabel lewat budaya dan berkesenian.
“Kita merangkul teman-teman difabel yang notabene tersisihkan dari masyarakat untuk mandiri lewat berkesenian (batik) ini. Kita kasih mereka pelajaran dan bimbingan (lewat membatik) sampai mereka bisa menghasilkan uang mereka sendiri,” ujar Suharto, yang ditemani oleh Rahmat dan Mulyani usai mengisi lokakarya membatik di acara Kharma Niskala, Rabu (23/10).
Komunitas Difablezone Indonesia bahkan sangat mempersilakan teman-teman dari semua kalangan yang ingin belajar membatik secara langsung di rumah batik mereka, yakni di Bajang, Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakarta.
Meditasi dan Penghujung Jalan Pulang
Pada penghujung perjalanan pulang Kharma Niskala hari itu, kami dituntun ke tanah lapang yang rimbun untuk sekali lagi bersimpuh, mengambil napas panjang, mengurai isi kepala, dam berterima kasih pada diri.
Disaksikan langit oranye yang begitu ramah merentangkan tubuhnya, kami meditasi dalam khusyuk dan tarian-tarian.
Mengti, salah satu peserta mengutarakan pulih yang ia rasakan selama mengikuti rangkaian Kharma Niskala sejak sesi pertama hingga selesai.
“Momen ini menjadi jeda setelah 2024 yang sangat sibuk bagi saya. Saya sibuk dengan pikiran saya, berlomba dengan banyak hal, jadi momen ini usaha saya menarik diri untuk melihat kembali perasaan saya sendiri. Momen ini jadi jeda sedikit dari kekhawatiran saya, ketakutan-ketakutan saya, dan kesibukan saya di kantor, bahkan saya bisa untuk tidak membuka email,” ujar Mengti saat ditanya perasannya usai mengikuti semua rangkaian Kharma Niskala.
Mengti juga berharap kalau acara “kembali pulang pada diri” seperti Kharma Niskala bisa diadakan secara rutin.
Sebabagai konselor, Mengti yakin acara-acara seperti ini bisa menjadi opsi sangat baik untuk orang-orang muda yang ingin mengurai perasaannya, tetapi ragu untuk pergi ke tenaga profesional karena sulit untuk bercerita, atau satu dan lain hal.
Aku setuju pada Mengti, sebab perjalanan paling panjang anak manusia adalah pulang pada dirinya sendiri, dan kita tidak pernah benar-benar tahu setengah jalan letaknya di mana. Tapi sebagaimana jalan ini sudah ditempuh, selebihnya mari tetap melanjutkan sembari memetik jeda pada simpang-simpang yang kita temui.
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE