Pembahasan mengenai wacana Tax Amnesty Jilid III kembali memicu kontroversi di kalangan publik, ekonom, hingga pelaku usaha. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan lantang menolak rencana tersebut.
Ia menilai tax amnesty hanya akan menguntungkan kelompok tertentu yang selama ini tidak taat membayar pajak, sementara masyarakat yang sudah patuh justru dirugikan.
Penolakan ini menjadi sorotan karena berbeda dengan kebijakan sebelumnya. Di masa Sri Mulyani Indrawati, program tax amnesty pernah dijalankan dua kali dan dianggap berhasil menambah penerimaan negara. Namun, Purbaya menegaskan bahwa keberhasilan jangka pendek tidak boleh mengorbankan prinsip keadilan fiskal dalam jangka panjang.
![Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) menerima memori jabatan dari pejabat lama Sri Mulyani Indrawati saat serah terima jabatan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/10/97280-menteri-keuangan-purbaya-yudhi-sadewa-kiri-dan-sri-mulyani-indrawati-suaracomalfian-winanto.jpg)
Penjelasan: Apa Itu Tax Amnesty?
Tax Amnesty atau pengampunan pajak adalah program pemerintah yang memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan harta yang belum tercatat dengan imbalan pembayaran tebusan yang lebih rendah dibanding sanksi normal.
Tujuan utamanya:
- Menarik dana besar yang berada di luar negeri masuk kembali ke Indonesia.
- Memperbaiki basis data perpajakan.
- Meningkatkan penerimaan negara dalam waktu singkat.
Indonesia pernah menjalankan program ini:
- Tax Amnesty Jilid I (2016–2017) di bawah Presiden Joko Widodo dengan Menkeu Sri Mulyani. Program ini berhasil mengungkap harta hingga lebih dari Rp4.800 triliun.
- Tax Amnesty Jilid II (2021–2022) yang dikenal dengan program pengungkapan sukarela (PPS). Program ini juga menarik dana signifikan, meski tidak sebesar jilid pertama.
Namun, di balik keberhasilannya, muncul kritik bahwa tax amnesty memberi “hadiah” bagi pengemplang pajak. Mereka yang taat membayar pajak justru merasa dirugikan.
Purbaya: Tax Amnesty Celah Kibul Pajak
Purbaya berkali-kali menyampaikan alasan penolakannya. Menurutnya, tax amnesty membuka celah bagi orang untuk "kibul-kibul" atau berbohong.
Ia menjelaskan, ada kemungkinan wajib pajak dengan sengaja menyembunyikan dana, lalu menunggu adanya program tax amnesty untuk melaporkannya dengan tebusan ringan. Praktik ini akan merusak keadilan dan membuat pemerintah terlihat mudah ditipu.
“Kalau tax amnesty dibuka lagi, semua orang bisa nyelundupin duit, lalu ikut amnesti. Itu kan sama saja negara dikibulin,” ucap Purbaya, dikutip Senin (22/9/2025).
Selain itu, Purbaya menekankan bahwa kepatuhan pajak jangka panjang jauh lebih penting ketimbang penerimaan cepat dari program amnesti. Menurutnya, jika kebijakan ini terus diulang, masyarakat justru akan berpikir menunda kewajiban pajak lebih menguntungkan.
Perbedaan dengan Sri Mulyani
![Para pegawai Kementerian Keuangan menyambut Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani usai serah terima jabatan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/09/18953-sertijab-menteri-keuangan-sri-mulyani.jpg)
Sikap Purbaya berbeda dengan pendahulunya, Sri Mulyani. Di masa kepemimpinannya, tax amnesty dianggap sebagai strategi mendesak untuk menambah kas negara.
Namun Purbaya menilai kondisi saat ini berbeda. Menurutnya, pemerintah sudah memiliki data perpajakan lebih baik berkat program Automatic Exchange of Information (AEoI) internasional. Artinya, potensi pajak bisa digali lewat penegakan hukum, bukan pengampunan.
Ia bahkan menyindir, “Kalau saya setuju tax amnesty, berarti saya siap untuk dikibulin.”
Reaksi Pengusaha
Penolakan Purbaya menuai reaksi dari kalangan pengusaha. Beberapa menilai keputusan itu terlalu kaku, karena tax amnesty sebelumnya terbukti membawa dana masuk ke Indonesia.
Namun, ada pula pengusaha yang mendukung sikap Purbaya. Mereka setuju bahwa pengampunan pajak menimbulkan rasa tidak adil. Pengusaha yang disiplin membayar pajak merasa “bodoh” dibanding mereka yang menunggak.
Perdebatan ini menunjukkan adanya tarik-menarik antara kebutuhan jangka pendek untuk menambah penerimaan negara dan kebutuhan jangka panjang menjaga kepatuhan pajak.
Pandangan Ekonom
Sejumlah ekonom ikut bersuara. Mereka menilai penolakan tax amnesty perlu diimbangi dengan strategi alternatif. Tanpa tax amnesty, pemerintah tetap harus menemukan cara menarik dana dari luar negeri agar tidak hanya mengandalkan utang atau pajak domestik.
Para ekonom juga menyoroti bahwa Indonesia harus hati-hati agar tidak menurunkan kepercayaan investor. Jika sistem perpajakan terasa terlalu berat tanpa insentif, pemilik modal bisa memilih menaruh dananya di luar negeri.
Alternatif dari Purbaya: Insentif Tarik Dolar

Menanggapi kritik, Purbaya mengajukan solusi. Ia menawarkan kebijakan menarik dolar milik WNI yang tersimpan di luar negeri dengan insentif khusus.
Menurutnya, pendekatan ini lebih adil dibanding tax amnesty. Insentif bisa diberikan dalam bentuk pengurangan pajak untuk investasi tertentu, kemudahan regulasi, atau skema lain yang membuat pengusaha tertarik membawa dananya ke Indonesia.
Dengan strategi ini, dana bisa masuk tanpa harus mengampuni pelanggaran pajak. Prinsip keadilan tetap terjaga, sementara devisa negara bertambah.
Kritik Utama terhadap Tax Amnesty
Beberapa alasan kuat mengapa Purbaya menolak tax amnesty:
- Tidak adil: wajib pajak patuh merasa dirugikan.
- Moral hazard: orang menunda pajak demi amnesti.
- Efek jangka pendek: hanya meningkatkan penerimaan sesaat.
- Celah manipulasi: membuka ruang penyelundupan aset.
Penutup
Sikap tegas Purbaya menolak Tax Amnesty Jilid III menandai arah baru kebijakan fiskal Indonesia. Alih-alih memberi pengampunan kepada pelanggar pajak, pemerintah ingin fokus pada penegakan hukum, insentif investasi, dan keadilan fiskal.
Meski pro-kontra terus berlangsung, langkah ini memberi pesan jelas bahwa kepatuhan pajak adalah fondasi utama ekonomi negara. Kini, tantangan pemerintah adalah membuktikan bahwa tanpa tax amnesty pun, penerimaan negara bisa tetap kuat dan adil bagi seluruh rakyat.