Pameran Pangastho Aji: Merawat Nilai Luhur dari Keraton Yogyakarta

Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Pameran Pangastho Aji: Merawat Nilai Luhur dari Keraton Yogyakarta
Pameran Pangastho Aji (Dokumentasi Pribadi/ Thedora Telaubun)

PameranPangastho Aji: Laku Sultan Kedelapan” menjadi cara baru Keraton Yogyakarta menghadirkan sejarah yang hidup di tengah publik modern. Dibuka secara resmi pada 26 September 2025 dan dibuka untuk umum sejak 27 September 2025 hingga 24 Januari 2026, pameran ini mengajak pengunjung menelusuri jejak Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, sosok raja yang menjadi jembatan antara masa tradisi dan modernitas di Yogyakarta.

Pameran ini bukan sekadar menampilkan benda-benda lama, tetapi menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang pernah dijalankan oleh Sultan. Dalam bahasa Jawa, pangastho aji berarti menjaga sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi dalam kehidupan: sebuah pesan tentang bagaimana kebijaksanaan dapat diwariskan lintas generasi.

Begitu memasuki ruang pamer, suasana langsung terasa sakral sekaligus interaktif. Ruangan pertama, dengan dominasi warna kuning keemasan yang menampilkan suasana perayaan Garebeg di Keraton Yogyakarta. 

Melalui visual bergerak dan suara ambient khas keraton, pengunjung diajak menyaksikan bagaimana prosesi abdi dalem, iring-iringan gunungan, hingga pembagian hasil bumi dilakukan secara khidmat. 

Tak hanya Garebeg, terdapat pula perayaan lain yang divisualisasikan seolah membawa penonton menembus waktu dan memahami makna ritual kerajaan yang tak lekang oleh zaman.

Menjaga yang Berharga, Merawat yang Luhur

Perjalanan Menuju Takhta Sri Sultan Hamengkubowono VIII (Dokumentasi Pribadi/ Thedora Telaubun)
Perjalanan Menuju Takhta Sri Sultan Hamengkubowono VIII (Dokumentasi Pribadi/ Thedora Telaubun)

Pada dinding tengah belakang, terpampang potret besar Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan tulisan “Perayaan Tinggalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono VIII”, menandai semangat pameran untuk menghormati jejak kepemimpinan beliau.

Melangkah ke ruangan berikutnya, nuansa biru dan jingga menghadirkan kehangatan dan keanggunan. Di sini, terpajang potret para sultan serta narasi perjalanan GPH Puruboyo: nama kecil Sultan HB VIII sebelum dinobatkan sebagai raja pada 8 Februari 1921. Beliau lahir pada 3 Maret 1880 dan dikenal sebagai raja pembaharu di bidang budaya, pendidikan, dan seni pertunjukan. 

Pada masa pemerintahannya, busana tari seperti bedhaya dan srimpi mengalami inovasi dari segi desain dan warna, menegaskan keanggunan sekaligus kekuatan perempuan Jawa tanpa menghilangkan nilai sakralnya.

Setiap potret dan penjelasan di ruangan ini dirancang bukan untuk mengagungkan tokoh, melainkan menyoroti kebijaksanaan dan nilai luhur yang diwariskan setiap pemimpin kerajaan.

Kebesaran dan Kehormatan

Puncak Demokrasi Seni (Dokumentasi Pribadi/ Thedora Telaubun)
Puncak Demokrasi Seni (Dokumentasi Pribadi/ Thedora Telaubun)

Ruangan terakhir didominasi warna hijau lembut, menampilkan peninggalan fisik seperti busana kebesaran Sultan, lukisan, perabot istana, hingga koleksi praja Tionghoa yang mencerminkan hubungan budaya lintas etnis. Setiap benda dipajang dengan pencahayaan lembut yang menonjolkan detail ukiran dan tekstur materialnya. 

Namun, beberapa artefak diberi tanda larangan foto dan larangan disentuh sebagai wujud penghormatan terhadap nilai spiritual yang melekat di balik benda-benda tersebut. Di titik ini, pengunjung tidak hanya diajak melihat sejarah, tapi juga merasakan makna kesakralan yang masih dijaga hingga kini.

Istilah Pangastho Aji sendiri membawa makna yang dalam. Dalam tradisi Jawa, pangastho berarti merawat atau menjaga, sedangkan aji berarti sesuatu yang bernilai luhur. Melalui pameran ini, masyarakat diajak tidak hanya mengagumi peninggalan sejarah, tetapi juga menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya: kebijaksanaan, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap leluhur. 

Pameran ini menjadi bagian dari upaya memperkenalkan laku budaya Sultan kepada generasi muda lewat pendekatan yang lebih dekat dan interaktif.

Dengan perpaduan teknologi modern, tata ruang artistik, serta nilai spiritual Jawa, “Pangastho Aji” menjadi ruang perenungan tentang bagaimana warisan masa lalu tetap relevan di masa kini. Ia bukan sekadar pameran benda antik, melainkan perjalanan batin untuk menjaga yang berharga: sebuah ajakan agar generasi kini tidak hanya mengenang kebijaksanaan leluhur, tetapi juga menghidupkannya kembali dalam kehidupan sehari-hari.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak