Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025: Kesehatan Mental Hak Semua Orang

Sekar Anindyah Lamase | Thedora Telaubun
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025: Kesehatan Mental Hak Semua Orang
Kesehatan Mental Penting Dieja pada Ubin Huruf dengan Latar Belakang Merah (Pexels/ Anna Tarazevich)

Setiap tanggal 10 Oktober seluruh dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day). Momentum ini bukan sekadar perayaan, melainkan pengingat bahwa kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik dan yang tak kalah penting bahwa kesehatan mental adalah hak semua orang: bukan hak istimewa atau privilege. 

Tema resmi untuk tahun 2025 adalah “Access to Service: Mental Health ini Catastrophes and Emergencies,” yaitu fokus pada pentingnya akses layanan kesehatan jiwa dalam situasi bencana, konflik, atau kondisi darurat. 

Kenapa Tema Ini Penting?

Di saat krisis seperti perang, bencana alam, pandemi, atau pengungsian, dampak fisik sering menjadi prioritas. Namun, luka batin biasanya tersembunyi dan terpendam. Banyak korban krisis mengalami kecemasan, depresi, bahkan stress akibat trauma, tetapi jarang mendapat perhatian memadai dari sistem layanan kesehatan.

Menurut laporan Human Rights Watch, praktik paksaan dalam perawatan kesehatan jiwa seperti mengikat pasien atau menahan mereka tanpa persetujuan masih terjadi di banyak negara dapat berdampak traumatis, melanggar martabat, dan menimbulkan ketakutan untuk mencari bantuan.

Dengan tema tahun ini, harapannya masyarakat dan pemerintah di berbagai negara semakin menyadari bahwa layanan kesehatan jiwa harus menjadi bagian dari tanggapan darurat dan tidak boleh diabaikan.

Kesehatan Jiwa sebagai Hak Asasi

Memahami bahwa kesehatan mental adalah hak semua orang berarti kita menolak stigma, diskriminasi, dan hambatan dalam mengakses layanan. Setiap individu: tanpa memandang latar belakang sosial, lokasi, usia, kondisi ekonomi, berhak mendapatkan dukungan psikososial yang layak.

Dasar normatifnya bisa ditelusuri dalam dokumen seperti Principles for the Protection of Persons with Mental Illness yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1991. Dokumen ini menetapkan bahwa perawatan kesehatan jiwa harus menghormati hak asasi manusia serta martabat individu.

Contoh konkret dari pengakuan hak ini: pada 9 Januari 2025, Kenya menegaskan bahwa mengkriminalisasi percobaan bunuh diri tidak sesuai konstitusi, mewakili langkah hukum yang lebih manusiawi terhadap mereka yang berjuang dengan pikiran bunuh diri. 

Ayo Lawan Stigma, Wujudkan Akses untuk Semua Orang

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025 mengingatkan kita bahwa mental health adalah hak semua orang, bukan hak kemewahan bagi yang mampu atau tinggal di kota besar. Dalam situasi genting pun, saat dunia tampak runtuh, dukungan psikososial adalah fondasi untuk menjaga kemanusiaan.

Mari kita bersuara bersama: bahwa akses layanan kesehatan jiwa bukan hanya “opsi”, tapi kewajiban negara dan masyarakat. Ketika stigma berkurang dan layanan semakin merata, harapan dan pemulihan bisa tumbuh: bukan hanya untuk mereka yang terdampak, tetapi untuk semua kita.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Layanan berbasis masyarakat perlu diperkuat. Menurut World Health Organization (WHO, 2022), pendekatan komunitas seperti konseling, dukungan sebaya, layanan hotline, hingga telehealth terbukti efektif membantu masyarakat pulih secara psikologis pascabencana. 

Kementerian Kesehatan RI juga menekankan bahwa layanan kesehatan jiwa seharusnya menjangkau hingga tingkat puskesmas dan masyarakat lokal.

Selain itu, edukasi dan kampanye publik memiliki peran besar untuk menurunkan stigma terhadap isu kesehatan mental. Kampanye yang melibatkan sekolah, media massa, dan komunitas dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong orang untuk lebih berani mencari bantuan profesional.

Dengan kerja bersama antara pemerintah, komunitas, dan lembaga kemanusiaan, dukungan terhadap kesehatan jiwa masyarakat bisa menjadi lebih kuat, bahkan di tengah situasi darurat sekalipun.

Harapan Bersama

Dalam peringatan ini, pendekatan manusiawi sangat dibutuhkan. Tidak cukup hanya menyebar poster atau tagar, tetapi tindakan nyata. Kita bisa menceritakan kisah mereka yang pernah atau sedang berjuang, agar pembaca memahami bahwa di balik “wajah normal” bisa ada beban batin yang tak terlihat.

Misalnya, di banyak negara, korban kekerasan, pengungsi, atau penyintas bencana alam mengalami trauma psikologis jangka panjang. Bila tidak tertangani, ini bisa mengganggu proses pemulihan sosial, pendidikan, dan kesejahteraan jangka panjang.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak