suara hijau

Catatan Pesisir: Tambang Datang, Laut Terancam dan Warga Sangihe Bertahan

M. Reza Sulaiman | Irhaz Braga
Catatan Pesisir: Tambang Datang, Laut Terancam dan Warga Sangihe Bertahan
Perlawanan Masyarakat Sangihe Menolak Tambang (Sumber: Koral.info)

Di Kepulauan Sangihe, laut bukan sekadar hamparan air asin yang memisahkan pulau satu dengan pulau lain. Laut adalah ruang hidup, penentu musim, penyangga ekonomi, sekaligus penanda identitas. Nelayan di wilayah ini tumbuh dengan pengetahuan turun-temurun tentang arus, angin, dan waktu terbaik untuk melaut. Pengetahuan itu tidak tertulis, tetapi teruji oleh waktu dan diwariskan melalui praktik sehari-hari.

Namun, logika negara dan korporasi sering kali memandang laut dan pulau kecil secara berbeda. Pulau diperlakukan seperti tanah kosong yang bisa dibagi dalam peta konsesi. Laut dianggap sekadar jalur buangan limbah dan akses logistik.

Cara pandang inilah yang memicu konflik panjang antara masyarakat pesisir Sangihe dan aktivitas pertambangan emas yang masuk ke wilayah mereka.

Ketika Laut Berubah Menjadi Ancaman

Ketika izin tambang diterbitkan, nyaris tidak ada ruang partisipasi yang bermakna bagi warga pesisir. Nelayan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menentukan nasib ruang hidup mereka. Dampaknya tidak menunggu lama. Air laut di sekitar wilayah tambang berubah keruh. Terumbu karang rusak, lamun menghilang, dan ikan menjauh dari pesisir.

Bagi nelayan, perubahan itu bukan sekadar persoalan lingkungan. Jarak melaut menjadi semakin jauh, biaya bahan bakar meningkat, risiko keselamatan bertambah, dan penghasilan menurun. Dalam banyak kasus, nelayan harus pulang dengan hasil tangkapan yang tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dihabiskan.

Kondisi ini memperlihatkan satu pola lama yang berulang: pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam kerap meminggirkan masyarakat yang paling bergantung pada alam itu sendiri.

Laut yang selama ini dijaga dan dirawat justru berubah menjadi sumber ancaman. Di Sangihe, tambang emas tidak hanya menggali tanah, tetapi juga mengguncang tatanan sosial masyarakat pesisir.

Perlawanan Sunyi yang Menjadi Pengetahuan

Di tengah keterbatasan akses dan minimnya perhatian nasional, masyarakat pesisir Sangihe tidak tinggal diam. Perlawanan mereka tidak selalu hadir dalam bentuk demonstrasi besar. Ia tumbuh dalam rapat kampung, diskusi sederhana di tepi pantai, dan keberanian untuk menolak normalisasi kerusakan.

Sebagai bagian dari #SuaraHijau, nelayan, petani, perempuan pesisir, dan tokoh adat membangun konsolidasi secara perlahan. Mereka mengumpulkan informasi, mendokumentasikan perubahan lingkungan, dan menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil. Perlawanan ini bukanlah gerakan instan, melainkan proses belajar kolektif yang panjang.

Puncaknya terjadi ketika gugatan hukum diajukan terhadap izin tambang. Mahkamah Agung akhirnya membatalkan izin usaha pertambangan emas di Sangihe.

Putusan itu menjadi tonggak penting. Ia membuktikan bahwa masyarakat pesisir bukan sekadar objek pembangunan, melainkan subjek hukum yang memiliki hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Namun, kemenangan hukum tidak serta-merta mengakhiri ancaman. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa korporasi masih mencari celah untuk bertahan. Bagi masyarakat, putusan pengadilan hanyalah salah satu babak dalam perjuangan panjang menjaga pulau kecil dari eksploitasi.

Pelajaran dari Pesisir Sangihe

Dari Sangihe, ada bagian #BelajarDariPesisir yang penting tentang makna pembangunan. Pembangunan tidak bisa semata-mata diukur dari nilai investasi dan potensi mineral. Ia harus diuji dari dampaknya terhadap keberlanjutan hidup masyarakat lokal. Ketika laut rusak, yang hilang bukan hanya ikan, tetapi juga pengetahuan, budaya, dan solidaritas sosial.

Perlawanan masyarakat pesisir Sangihe menunjukkan bahwa menjaga lingkungan bukanlah agenda elitis. Ia lahir dari pengalaman konkret orang-orang yang hidup paling dekat dengan alam. Mereka memahami bahwa kerusakan ekologi selalu berujung pada krisis sosial.

Narasi Sangihe juga membongkar mitos bahwa masyarakat pesisir anti-pembangunan. Yang mereka tolak bukanlah perubahan, melainkan ketidakadilan. Mereka menolak pembangunan yang menyingkirkan, yang memusatkan keuntungan pada segelintir pihak, dan meninggalkan kerusakan bagi generasi berikutnya.

Belajar dari Sangihe berarti mengakui bahwa laut memiliki nilai lebih dari sekadar sumber daya ekonomi. Ia adalah ruang hidup yang harus dilindungi. Dalam konteks krisis ekologis yang semakin nyata, kisah perlawanan di Sangihe menjadi sebuah cermin. Ia mengingatkan bahwa masa depan tidak ditentukan oleh seberapa dalam kita menggali bumi, melainkan oleh seberapa jauh kita bersedia mendengar dan belajar dari mereka yang selama ini menjaga laut tanpa pamrih.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak