Ulasan Buku Merantau ke Deli, Inilah Novel Paling Memuaskan Hati Buya Hamka

Hernawan | Rozi Rista Aga Zidna
Ulasan Buku Merantau ke Deli, Inilah Novel Paling Memuaskan Hati Buya Hamka
Buku novel Merantau ke Deli karya Hamka (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Novel Merantau ke Deli ini merupakan salah satu novel sastra terbaik karya ulama sekaligus sastrawan fenomenal, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih populer dengan panggilan Buya Hamka. Mulanya novel ini dimuat pada pertengahan tahun 1939 sampai awal tahun 1940 di majalah Pedoman Masyarakat.

Lalu, diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku pada tahun 1941 oleh Penerbit Cerdas Medan. Jadi, segala perkara dan waktu yang terdapat dalam novel ini berlatar pada tahun 1940-an, sebelum meletusnya perang dunia kedua.

Dalam pengantar novel ini Buya Hamka mengaku Merantau ke Deli inilah buku roman yang paling memuaskan hatinya. Alasan ini mengacu kepada sumber bahan dalam penulisannya yang benar-benar didapat dari temuannya di masyarakat, sesuai dengan yang beliau lihat dan saksikan sebelum memimpin majalah Pedoman Masyarakat tahun 1936. 

Dalam kisahnya, setelah beliau pulang dari Mekkah tahun 1928, berbulan-bulan beliau menjadi guru agama di satu pasar kecil bernama Pasar Bajalinggai dekat Tebing Tinggi, Deli. Selama itu beliau menyaksikan kehidupan kuli-kuli kontrak diikat oleh Poenale Sanctie yang terkenal kala itu. Dari kehidupan yang demikian itu, beliau akhirnya mendapat inspirasi bahan untuk novel Merantau ke Deli ini.

Mengenai Poenale Sanctie, di bagian awal kisah Buya Hamka memasukkannya dalam bagian konflik, lantas memberinya catatan kaki. Tertulis bahwa Poenale Sanctie (pidana sanksi) merupakan aturan yang telah ditetapkan oleh para tuan tanah pemilik perkebunan, bahwa mereka boleh menghukum pekerja kulinya dengan cara yang dianggap pantas, termasuk memberikan denda. Poenale Sanctie juga merupakan sebuah sanksi hukuman pukulan dan kurungan badan yang dijalankan oleh kolonial Belanda yang berlaku di Suriname dan Hindia Belanda (hlm. 4).

Tanah Deli, Sumatera Timur, telah terbuka sejak ratusan tahun yang lalu. Begitu terbuka bagi pengusaha-pengusaha besar bangsa asing untuk menanam tembakau, karet, benang nanas dan kelapa sawit. Sehingga banyak orang berduyun-duyun datang ke Deli untuk mengadu keberuntungan. Di antara mereka yang datang adalah para pekerja kuli kontrak dari Jawa, saudagar-saudagar kecil dari Minangkabau, Tapanuli, Bawean, Banjar, Jakarta, dan lain-lain.

Novel dengan sampul gambar koper ini kental dengan nuansa Melayu dan menggambarkan dengan gamblang perbedaan dua adat istiadat antara Minang dan Jawa. Tersebutlah Poniem, perempuan Jawa yang ketika di perantauan harus rela hidup sebagai istri simpanan Tuan Tanah Deli. Terdapat pula Leman, laki-laki Minang yang penuh optimis di tanah perantauan, loyal terhadap uang, dan mudah percaya kepada orang, terlebih terhadap saudara-saudaranya. Poniem dan Leman kemudian menikah. Hidup berumah tangga dengan segala perbedaan budaya.

Sebelumnya telah banyak teman Leman yang mengingatkan agar ia tidak meneruskan niatnya untuk menikahi Poniem istri mandor besar itu. Bahkan, orang yang dituakan di perantauan tersebut juga telah urun nasihat kepada Leman. Tetapi, besar cintanya Leman terhadap Poniem mengalahkan semua masukan itu. Berikut ini petikannya:

Bagindo Kayo, seorang yang lebih tua di tanah perantauan itu mengatakan, “Aku takut kalau-kalau engkau menyesal kelak, Leman.”

“Apa sebab aku akan menyesal, Mamak?”

“Sebab orang itu bukan orang negeri (satu kampung) kita!”

“Bukankah dia orang Islam juga?” tanya Leman.

“Benar, tetapi karena engkau mendapatkan dia dengan mudah, aku takut dan khawatir kalau-kalau engkau juga mudah melepaskannya.”

“Tidak, Mamak. Beristri hanya sekali ini, aku sadar betul. Perempuan itu setia tampaknya dan dia akan pegang teguh, aku telah berjanji.”  

Namun, setelah keduanya menikah, biduk rumah tangganya diterpa ombak dengan munculnya desakan keluarga Leman di kampung agar beristri perempuan Minangkabau. Maka, sesuatu yang membuat perih hati Poniem pun terjadi. Mariatun, gadis asli Minangkabau menjadi istri kedua Leman.

Hidup Leman dengan beristri dua semakin kacau. Poniem dan Mariatun sering didapati ribut. Leman sudah teramat sering menasihati keduanya agar tidak selalu ribut. Nasihat Leman tersebut bisa disimak dari percakapan berikut ini:

“Aku sendiri, apa yang akan kuperbuat di rumah ini tak ada siapa pun yang menghalangi. Abang Leman suamiku, suami yang sah dengan doa selamat, dengan nikah, dengan persetujuan segenap famili kami. Kami dinikahkan menurut adat, setahu Ninik Mamak. Engkau sendiri banyak mulut, melarang dan menyuruhku, seperti engkau yang berkuasa di sini. Tidakkah engkau tahu bahwa engkau menumpang di sini, hai orang Jawa? Cih, tidak tahu malu!”

Baru saja Poniem hendak menjawab, Leman telah masuk ke dalam.

“Mengapa ribut-ribut, tidakkah malu? Hai Poniem, bukankah kau yang tua, tidakkah kau malu berbuat demikian? Heh Mariatun, mengapa suaramu saja yang kedengaran dari tadi di luar? Mengapa kau bercakap begitu keras? Tidak aku sangka perempuan sekolah akan begitu keras cakapnya. Untung aku cepat pulang.”

 Selain itu, kehadiran Suyono, laki-laki asal Jawa semakin memperkeruh keadaan. Kedatangan Suyono kian mengundang gelombang besar, sehingga guncangan rumah tangga keduanya semakin dahsyat.

Akhir kata, kehadiran novel sastra ini akan melunasi kerinduan kita terhadap karya-karya sastra era 1930-an hingga 1950-an, khususnya karya fenomenal Buya Hamka yang sarat pergulatan emosi, konflik batin, cinta, suku budaya di Indonesia, dan nilai-nilai spiritual yang telah menjadi ciri khas dalam karya-karya Buya Hamka.

IDENTITAS BUKU

Judul Buku: Merantau ke Deli

Penulis: Prof. Dr. Hamka 

Penerbit: Gema Insani

Cetakan: I, 2017

Tebal Halaman: xii + 192 halaman

ISBN: 978-602-250-388-0

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak