Benarkah pakaian yang kita pakai sehari-hari bisa ikut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan secara langsung? Mungkin selama ini kita menganggap bahwa tidak ada hubungannya atau sangat jauh kaitannya dengan kerusakan lingkungan. Padahal, data-data yang ada mengatakan sebaliknya.
Tren fesyen yang ramai saat ini adalah model-model yang terus berubah, bergerak, dan mengikuti mode perkembangan zaman. Hampir setiap orang akan membeli pakaian baru ketika melihat model terbaru dan menarik, walaupun pakaian yang ia miliki di lemari sudah sangat banyak.
Hal ini ternyata akan membawa dampak yang buruk bagi lingkungan dan akhirnya berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan. Kita tidak perlu berbicara tentang limbah pakaian yang sudah tidak terpakai lagi, tetapi proses untuk menghasilkan pakaian baru itu sendiri sudah berkontribusi cukup besar terhadap kerusakan lingkungan.
Biaya Tersembunyi yang Harus Dibayar Lingkungan untuk Industri Fesyen
Berdasarkan laporan dari Impact Report 2022: Unlocking Fashion, Sustainability, & Circular Economy yang diterbitkan oleh Tinkerlust, biaya tersembunyi yang dihabiskan pada sektor industri fesyen memiliki jumlah yang fantastis.
Laporan tersebut mengatakan bahwa 20% air limbah dihasilkan dari industri fesyen. Untuk memproduksi fesyen yang berbahan dasar kapas atau cotton menjadi produk, dibutuhkan 93 kubik meter air.
Pada tahun 2017, berdasarkan World Economic Forum, industri fesyen ini telah menggunakan air hingga mendekati 79 miliar kubik meter air, yang mana setara dengan 32 juta kolam renang ukuran Olympic!
Diperlukan 700 galon air yang setara dengan 52 juta kolam renang ukuran Olympic untuk menghasilkan sebuah cotton t-shirt, serta diperlukan 2 juta galon yang setara dengan 150 juta kolam renang ukuran Olympic untuk menghasilkan sebuah celana jeans!
Kebutuhan akan air yang sangat fantastis ini tentu akan berdampak pada keadaan lingkungan jika dibiarkan terus-menerus, apalagi jika dibarengi dengan permintaan pasar yang semakin tinggi di industri fesyen.
Hal di atas hanya membahas tentang penggunaan air, belum lagi biaya lainnya selama proses produksi, serta limbah berbagai bentuk mulai dari limbah cair, padat, hingga gas selama proses produksi di pabrik.
Tren Fast-Fashion yang Marak di Kalangan Anak Muda
Masih dari sumber yang sama, dikatakan bahwa orang-orang lebih tertarik untuk membeli pakaian baru dengan jenis fast fashion karena banyaknya variasi desain. Hal ini didukung dengan banyaknya industri fast fashion yang menjamur di mall-mall.
Padahal, pakaian yang termasuk dalam fast fashion hanya memiliki umur yang pendek, alias musiman. Ketika sudah mulai meredup, orang-orang tidak akan tertarik untuk memakainya lagi dan akan membiarkannya mengendap di dasar lemari.
Masih banyak yang tidak tahu tentang slow fashion, padahal hal ini bisa menjadi alternatif untuk ikut mengurangi kerusakan lingkungan akibat industri fesyen yang tidak terkendali.
Slow or Circular Fashion: Solusi yang Tepat?
Meski masih banyak orang yang merasa asing dengan istilah slow or circular fashion, setidaknya beberapa industri dan orang-orang yang memang aware dengan kondisi lingkungan mulai menyadari bahwa hal ini bisa menjadi salah satu alternatif.
Diana, seorang Head and Research and Education dari Zero Waste Indonesia, mengatakan bahwa hal penting yang harus kita lihat dari masalah lingkungan ini adalah hal ini tidak hanya berasal dari sisi produsen, tetapi juga penting bagi konsumen agar memiliki kesadaran untuk menyukseskan gerakan ini.
“Buy less, choose well and make it last [Beli lebih sedikit, pilih dengan baik dan membuatnya bertahan lama]," ujar Diana.
Gerakan slow or circular fashion ini berfokus pada usaha untuk mengurangi limbah pakaian dengan memilih, membeli, dan menggunakan pakaian semaksimal mungkin. Hal ini berfokus pada tujuan pemakaian dalam jangka waktu yang lama dengan kualitas yang tinggi dan proses produksi yang ramah lingkungan.
Dikutip dari laman zerowaste.id, fokus utama slow fashion adalah bagaimana membuat seluruh proses produksi sampai ke tangan konsumen bisa berkelanjutan, termasuk memperhatikan perlakuan kepada para pekerja dan dampaknya bagi lingkungan sekitar.
Kelamahan Slow or Circular Fashion
Sayangnya, slow or circular fashion ini juga memiliki kelemahan. Berdasarkan laporan dari International Journal of Current Science Research and Review Volume 06, brand fesyen berkelanjutan yang menerapkan konsep slow and circular fashion ke produk mereka menawarkan produk dengan harga yang lebih tinggi sehingga hanya konsumen tertentu saja yang bisa membelinya.
Sementara itu, orang-orang yang memiliki kemampuan finansial yang berlebih cenderung tidak aware terhadap kondisi lingkungan. Di sisi lain, para millenial dan gen Z yang lebih aware terhadap lingkungan justru tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri yang perlu dipikirkan jalan keluarnya bersama-sama.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS