Hari Bumi bukan sekadar pengingat tahunan, melainkan seruan mendesak untuk menyelamatkan planet ini. Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi sebagai panggilan moral kolektif untuk menjaga lingkungan hidup.
Peringatan ini tidak lagi bersifat simbolik semata, melainkan menjadi sangat relevan di tengah situasi krisis global yang makin mengkhawatirkan. Laporan penting PBB tahun 2021 bertajuk Making Peace With Nature secara gamblang menegaskan bahwa dunia kini menghadapi tiga ancaman besar secara bersamaan: (1) perubahan iklim, (2) kehilangan keanekaragaman hayati, dan (3) pencemaran lingkungan. Ketiga krisis ini saling berkaitan dan memperparah satu sama lain, menuntut aksi nyata dan kolaboratif lintas negara.
Dalam konteks inilah, The 37th CAP-CSA Joint Commission Meeting menjadi forum strategis yang mempertemukan negara-negara untuk menyatukan langkah dan merumuskan solusi lingkungan secara kolektif.
Salah satu langkah penting yang perlu diarusutamakan adalah penerapan ekonomi sirkular di sektor pariwisata. Konsep ini bukan hanya tentang mengurangi limbah atau mendaur ulang, melainkan membangun ekosistem pariwisata yang berkualitas, berkelanjutan, dan mampu menggerakkan ekonomi lokal secara inklusif.
Melalui pemanfaatan sumber daya secara efisien dan prinsip minim limbah, ekonomi sirkular memberikan peluang bagi sektor pariwisata untuk menjadi solusi, bukan bagian dari masalah. Ketiga krisis yang diungkap PBB saling terkait dan memperparah satu sama lain.
Salah satu kontributor yang tidak boleh diabaikan adalah sektor pariwisata. Ketika tidak dikelola secara bijak, aktivitas wisata dapat meningkatkan emisi karbon, mengganggu ekosistem alami, serta menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Namun, di sisi lain, sektor pariwisata juga memiliki potensi luar biasa untuk menjadi bagian dari solusi—khususnya melalui pendekatan ekonomi sirkular.
Ekonomi Sirkular: Dari Wacana ke Aksi Nyata
Ekonomi sirkular di sektor pariwisata adalah pendekatan pembangunan wisata yang mengedepankan prinsip daur ulang, efisiensi sumber daya, dan minim limbah. Dalam pendekatan ini, sampah bukan akhir dari proses ekonomi, melainkan bagian dari siklus yang terus berputar. Hotel dan restoran mengurangi plastik sekali pakai, destinasi wisata mengolah sampah organik menjadi kompos, dan pelaku UKM menggunakan bahan daur ulang untuk produk kreatif mereka.
Berbagai destinasi wisata dunia mulai mengadopsi prinsip ini: dari Bali yang mendorong gerakan “Bye Bye Plastic Bags” hingga Labuan Bajo yang mulai mengintegrasikan pengelolaan limbah dalam rencana pengembangannya. Namun keberhasilan ekonomi sirkular tidak cukup hanya pada inisiatif sporadis, tapi harus didukung sistem pengawasan yang sistematis dan kolaboratif.
Skema Pengawasan yang Terintegrasi
Pengawasan ekonomi sirkular dalam sektor pariwisata idealnya dijalankan melalui sistem berlapis: dari pusat hingga lokal, dari regulasi hingga kontrol sosial. Di tingkat nasional, kementerian seperti Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Badan Standardisasi Nasional (BSN) bertanggung jawab menyusun kebijakan, standar, serta sistem sertifikasi. Sertifikasi seperti Green Hotel, CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment), hingga Ekolabel Nasional menjadi alat ukur komitmen pelaku usaha terhadap keberlanjutan.
Di tingkat daerah, Dinas Pariwisata dan Dinas Lingkungan Hidup dapat melakukan monitoring langsung di destinasi, mengedukasi pelaku lokal, serta membentuk satuan tugas terpadu untuk pengawasan lapangan. Sementara itu, Pelaku Usaha bertugas menjalankan self-monitoring dan pelaporan keberlanjutan. Kelompok sadar wisata (Pokdarwis), komunitas lokal, dan bank sampah desa pun perlu dilibatkan dalam pengawasan partisipatif dan pelestarian budaya.
Peran media dan akademisi menjadi pengawas eksternal yang penting, lewat peliputan kritis, riset berbasis data, serta pemberian rekomendasi kebijakan. Ini adalah skema kolaboratif, di mana semua pihak saling menjaga agar prinsip sirkular tidak hanya jadi jargon, tapi benar-benar dijalankan di lapangan.
Instrumen Regulasi dan Sertifikasi Sudah Ada
Secara regulatif, Indonesia tengah memperbarui landasan hukum terkait pariwisata. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pariwisata yang saat ini sedang dalam pembahasan di DPR akan menggantikan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Selain itu, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap menjadi pijakan utama dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang terkait dengan pariwisata. Di tingkat kebijakan teknis, terdapat Permen Pariwisata No. 14 Tahun 2016 tentang Destinasi Pariwisata Berkelanjutan, serta SNI 9042:2021 sebagai standar nasional dalam pengelolaan wisata berkelanjutan.
Masalahnya adalah lemahnya implementasi. Banyak daerah yang belum memiliki kapasitas memadai untuk menjalankan pengawasan. Koordinasi antar instansi belum optimal. Di sisi lain, banyak pelaku usaha—terutama UKM wisata—masih memerlukan pendampingan dan insentif agar mampu bertransformasi.
Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah perlu membangun sistem pengawasan digital yang transparan, memperkuat kapasitas pengawasan daerah, dan memberikan insentif fiskal bagi pelaku usaha yang mengadopsi prinsip ekonomi sirkular.
Hari Bumi sebagai Titik Awal Komitmen
Hari Bumi bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah momentum untuk bertanya: apakah pembangunan kita sudah berpihak pada keberlanjutan? Apakah pariwisata kita sudah menjadi bagian dari solusi terhadap krisis planet, atau justru memperparahnya?
Penerapan dan pengawasan ekonomi sirkular di sektor pariwisata bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga menyangkut masa depan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Pariwisata yang sirkular berarti lebih hemat energi, lebih menyerap tenaga kerja lokal, dan lebih menjaga nilai-nilai budaya.
Menghadapi tiga ancaman global sebagaimana diperingatkan oleh PBB—perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran—kita harus menjadikan sektor pariwisata sebagai laboratorium perubahan. Ekonomi sirkular bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Dan pengawasan adalah fondasi utama agar prinsip ini tidak berhenti sebagai wacana, tetapi menjelma sebagai aksi nyata demi bumi yang lebih lestari.(r10)
Penulis: Rioberto Sidauruk (Pemerhati Kebijakan Publik dan Lingkungan. Aktif mendampingi isu industri, pariwisata, UKM dan ekonomi kreatif.)