Merdeka untuk Bumi: Suara Anak Muda Menjaga Lingkungan di usia 80 Tahun RI

Bimo Aria Fundrika | Modesta Bouk
Merdeka untuk Bumi: Suara Anak Muda Menjaga Lingkungan di usia 80 Tahun RI
Ilustrasi lingkungan pedesaan (Unsplash.com/Dikaseva)

Delapan puluh tahun lalu, bangsa ini berdiri tegak di bawah langit yang dipenuhi sorak sorai kemerdekaan. Udara yang dihirup para pejuang saat itu adalah udara kemenangan, meski masih sarat debu dari medan perang. Mereka tahu, kemerdekaan bukan hadiah yang jatuh dari langit, melainkan buah dari keberanian, pengorbanan, dan keyakinan bahwa masa depan yang bebas layak diperjuangkan.

Kini, delapan dekade kemudian, kita masih berdiri di tanah yang sama, di bawah bendera merah putih yang sama, namun dihadapkan pada medan perjuangan yang berbeda. Lawan kita bukan lagi pasukan bersenjata, melainkan ancaman yang tak selalu terlihat: krisis iklim, polusi, kerusakan hutan, laut yang sekarat, dan bumi yang perlahan kehilangan napasnya.
Kemerdekaan yang dulu dimaknai sebagai bebas dari penjajahan, kini berkembang menjadi kemerdekaan dari segala hal yang merampas masa depan bumi dan penghuninya.

Makna Kemerdekaan di Era Krisis Iklim

Kemerdekaan hari ini bukan hanya tentang kebebasan berbicara atau menentukan nasib bangsa. Lebih dari itu, kemerdekaan adalah kebebasan untuk memilih masa depan yang berpihak pada keberlanjutan. Bebas dari ketergantungan pada energi kotor yang menyesakkan udara. Bebas dari banjir sampah plastik yang mengotori sungai dan laut. Bebas dari gaya hidup serba instan yang meninggalkan jejak luka pada bumi.

Generasi muda punya peran penting di sini. Kita tumbuh di era di mana informasi mengalir deras; kita tahu apa yang sedang terjadi, kita mengerti risiko yang akan datang. Pilihan ada di tangan kita: ikut menjadi bagian dari masalah, atau berdiri menjadi bagian dari solusi. Kemerdekaan berarti kita punya kuasa untuk menentukan arah langkah itu.

Tantangan Nyata yang Kita Hadapi

Data dari berbagai lembaga lingkungan hidup menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan jutaan hektare hutan dalam beberapa dekade terakhir. Laut kita, yang dulu menjadi sumber kehidupan dan kebanggaan, kini terancam oleh tumpukan plastik. Ikan-ikan yang kita makan mengandung mikroplastik. Udara di kota-kota besar penuh polusi dari kendaraan dan industri berbasis fosil.

Perubahan iklim bukan lagi isu jauh di luar negeri. Di Nusa Tenggara Timur, kemarau makin panjang, hujan makin singkat, dan kekeringan membuat petani sulit bercocok tanam. Di pesisir utara Jawa, air laut naik, menenggelamkan rumah-rumah. Di Sumatra dan Kalimantan, kebakaran hutan mengirim asap pekat yang membatasi pandangan bahkan untuk melihat tetangga di seberang jalan.

Kita sedang berada di persimpangan sejarah. Kemerdekaan yang direbut dengan darah dan nyawa para pendahulu bisa sia-sia jika tanah air ini menjadi tempat yang tak lagi layak huni bagi anak cucu kita.

Suara Anak Muda untuk Bumi

Aku percaya, kemerdekaan sejati lahir dari keberanian memilih jalan yang mungkin tidak mudah, tapi benar. Aku sendiri memilih untuk memulai dari hal-hal sederhana: berjalan kaki atau bersepeda untuk jarak dekat, membawa botol minum sendiri, mengurangi konsumsi daging merah, memilah sampah rumah tangga, dan membeli barang yang memang aku butuhkan, bukan sekadar aku inginkan.

Di kampus, aku bergabung dengan komunitas lingkungan. Kami mengadakan pelatihan membuat eco-brick dari sampah plastik, menanam pohon di bantaran sungai, dan mengajak sekolah-sekolah sekitar untuk menerapkan kantin tanpa plastik sekali pakai. Kami tahu, aksi ini tak akan langsung menyelamatkan bumi, tapi setidaknya mengajarkan bahwa perubahan selalu dimulai dari satu langkah, lalu menular menjadi ribuan langkah.

Aku juga melihat banyak kawan muda yang menciptakan inovasi: panel surya mini untuk rumah di desa, aplikasi untuk memantau sampah, hingga bisnis yang mengubah limbah menjadi produk bernilai. Mereka membuktikan bahwa kreativitas bisa berjalan seiring dengan keberlanjutan.

Merdeka dari Diam

Masalah terbesar kita mungkin bukan ketidaktahuan, tapi kebiasaan untuk diam. Diam ketika melihat sungai dipenuhi sampah. Diam ketika tahu udara yang kita hirup kian memburuk. Diam karena merasa langkah kita terlalu kecil dibanding besarnya masalah.

Padahal, kemerdekaan selalu dimulai dari suara, suara yang lantang, berani, dan konsisten. Seperti dulu para pemuda mengumandangkan Sumpah Pemuda dan proklamasi, kini kita perlu mengumandangkan sumpah baru: sumpah untuk membebaskan bumi dari perusakan tanpa henti.

Aksi Kolektif & Harapan ke Depan

Tahun 2045 nanti, Indonesia akan genap 100 tahun merdeka. Bayangkan jika di usia seabad itu, kita bisa berkata: “Kita telah menjaga bumi kita.” Bayangkan sungai-sungai kembali jernih, hutan kembali rimbun, udara kembali segar, dan laut kembali biru. Itu mungkin terjadi jika kita mulai sekarang, hari ini.

Kemerdekaan untuk bumi bukan pekerjaan satu orang atau satu generasi saja. Ini pekerjaan bersama. Pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, dan individu harus bergerak dengan visi yang sama: membangun masa depan yang berkelanjutan.

Kita perlu mempercepat transisi energi bersih, memperkuat pengelolaan sampah, melindungi keanekaragaman hayati, dan memulihkan ekosistem yang rusak. Pendidikan lingkungan harus menjadi bagian dari kurikulum sejak dini, bukan sekadar mata pelajaran tambahan.

Merdeka untuk Semua Kehidupan

Bumi bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah rumah satu-satunya yang kita miliki. Ia adalah halaman depan tempat anak-anak bermain, ladang tempat petani menanam, lautan tempat nelayan mencari ikan. Jika rumah ini hancur, kemerdekaan apapun akan kehilangan maknanya.

Maka, mari kita maknai ulang kemerdekaan. Delapan puluh tahun lalu, kemerdekaan berarti terbebas dari penjajahan manusia atas manusia. Hari ini, kemerdekaan berarti terbebas dari penjajahan manusia atas alam.
Merdeka untuk bumi adalah merdeka untuk semua kehidupan.

Dan aku, sebagai bagian dari generasi muda Indonesia, memilih untuk tidak diam. Suaraku, tindakanku, dan langkahku akan berpihak pada bumi. Karena aku tahu, merdeka bukan hanya tentang kita yang hidup hari ini, tapi juga tentang mereka yang akan mewarisi bumi ini besok.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak