Memandang Arah Lawan

Tri Apriyani | ahmaddahri
Memandang Arah Lawan
Ilustrasi jalan (Pixabay).

Melihat masa yang kalang kabutan, meneruskan angin yang kembang kempisnya silih berganti, di masa yang tak pernah tertebak arahnya, tak terukur jaraknya, musim-musim tidak seperti biasanya, sama sekali tak tertebak. Mereka berlari, bersembunyi, berdiri tetap di tempatnya, ada yang bergumul, dan ada yang diam-diam pergi entah kemana.

Mereka kalang kabutan, arah lawan yang tak terlihat, arah lawan yang terukur, masuk di antara dedaunan rimbun fatamorgana, semua “Mung apus-apus” kata mbah-mbah di desaku. Tidak ada istiqomah, semua berubah-ubah, katanya “Tergantung nasibmu saja bagaimana?”

Jangan terlalu berburu nasib, jalani saja aturan main dari-Nya, sejak sebelum lahir kan sudah berdiskusi dan mengikat janji, mengapa hari ini kau kutuk dan buru nasib, apalagi nasib yang kau maksud harus sesuai persepsimu? Asumsi-asumsi dari kepintaran dan intelektualitasmu.
Kini nasi menjadi bubur, bubur menjadi debu, penuh jamur, bau, kau tak lagi berburu nasi. Hanya nasib yang ingin kau buru, mengejar arah lawan, dalam dirimu, diri kita sendiri, bergelut dengan emosi, bergelut dengan persepsi.

Kalau bukan karena hidup dariNya, siapa lagi yang akan menanggung kemauanmu?
Hanya Dia, ya... hanya keyakinan atas diriNya lah yang harus diperteguh, diteguhkan dalam hatimu, dalam hati kita,

Karena arah lawan ada di dalam diri kita, tak usah memburu nasib, biarkan ia berjalan menghampiri kita, begitu juga hidup.

2021

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak