Cinta Beda Dunia

Munirah | Funcrev
Cinta Beda Dunia
Ilustrasi Cerita. (Unsplash/Xin)

"Dek, nanti kalo mas udah siap halalin kamu, kamu mau gak?," ucap Rahmat sedikit gemetar di atas motor bututnya keluaran tahun 80-an.

"Mau mas," jawab Siti memerah.

Siti si kembang desa, memang digadang-gadang sudah harus secepatnya melangsungkan pernikahan. Bahkan sudah banyak sekali yang melamarnya, namun hingga saat ini baru Rahmat yang berhasil mendapatkan tempat di hati Siti. 

Warga kampung yang masih kental dan percaya akan tradisi leluhur, tak segan-segan menyuruh Siti untuk melakukan ritual agar cepat dibukakan hatinya. Gadis lentik, bermata indah ini justru menolak permintaan para warga kampung dengan alasan bahwa Ia akan segera menemukan jodohnya kelak.

Melihat Siti yang tak kunjung menuju pelaminan banyak warga kampung yang justru merasa geram. "Tidak nurut orang tua," menurut adat setempat. Entah kenapa akhir-akhir ini Siti sering merasakan meriang di malam hari. Rahmat yang rumahnya ada di kampung sebelah itupun harus bolak-balik menjenguk demi memastikan keadaan Siti.

Kedekatan mereka membuat banyak pemuda kampung merasa tidak enak hati. Kembang desa itu, terhitung sudah lebih dari seratus kali menerima lamaran dari para pemuda di kampungnya, bahkan anak kepala desa sendiri kepincut, namun belum berhasil mendapatkan tempat di hati Siti.

Hari demi hari semakin pasti, usaha Rahmat semakin menunjukkan keberhasilan. Kedua sejoli itu semakin dekat dengan pelaminan. Siti yang sudah merasa sangat jatuh cinta dengannya pun tak pernah menolak jika Rahmat ajak kemana pun Ia pergi.

Tepat di hari ulang tahun Siti, Rahmat mengajaknya pergi ke kota. Dengan motor khas 80-an miliknya itu, Ia ajak Siti menyusuri jalanan kota yang penuh kelip malam. Malam itu hati Siti benar-benar melayang entah kemana. Rasa yang belum pernah Ia rasakan sebelumnya berkumpul dan tidak lagi bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Sebagai cenderamata Rahmat memberinya hadiah spesial berupa kerudung lengkap dengan jarum pentul. 

"Pakai terus jarum pentul ini, biar gak lupa sama aku, taruh di bawah kasur aja biar gak hilang, jadi kalau tidur kan selalu ada dekat kamu, kalau kerudungnya kan harus dicuci," ucap Rahmat.

"Iya mas, makasih," jawab Siti malu-malu.

Rasanya hari demi hari hubungan mereka semakin lengket. Namun, kesehatan Siti semakin memburuk setelah hari ulang tahunnya. Badannya semakin kurus. Pernah satu malam saat Rahmat menjenguk, Siti muntah darah dari mulut. Warga sekitar pun sudah mulai banyak yang menjenguk dan khawatir akan keadaan kekasih Rahmat ini.

"Aku nggak percaya, nggak rela. Orang rasanya baru kemarin kita jalan-jalan ke kota bersama," kata Rahmat pada Ki Kuncoro, guru sekaligus dukun Kampung tempat Siti tinggal. 

Rahmat menundukkan wajahnya. Malu juga kalau mewek di depan gurunya. Kurang dewasa, kesannya. Tapi lama-lama, air mata Rahmat tumpah juga.

Ki Kuncoro bergeming dengan dahi mengernyit. Kemudian, diusapnya pundak Rahmat lembut-lembut seraya berbisik. "Kamu pikir, siapa yang berjalan di belakangmu tengah malam kemarin? Dia juga belum ikhlas, kalau ternyata pembunuhnya adalah kekasihnya sendiri,"

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak