Adzan Subuh dari toa mushola di sebelah rumah membangunkan Dila dari tidur lelapnya. Diambilnya jam weker Hello Kitty yang berdiri kokoh di atas meja kayu bertaplak kain dan penuh tumpukan buku. Ditatapnya arah jarum jam weker menunjukkan pukul 04:30 WIB. Ia mengucek mata sembari menguap memaksakan diri untuk terjaga.
Sang mentari masih malu untuk menampakkan diri di ufuk timur. Ayam-ayam masih bersiap mendendangkan alunan merdu berkokok. Udara dingin masuk melalui sela-sela jendela berkayu coklat. Dila membuka korden hijau bermotif bunga. Langit berwarna hitam bercampur jingga mengawali pagi hari. Bulan sabit sudah menyelesaikan tugasnya dan segera beranjak pergi.
Langkah Dila tergontai karena rasa kantuk masih menyelimuti. Ia menarik handuk yang dikaitkan pada paku dibalik pintu kamar. Meletakkan di atas bahu sebelah kanan sambil sesekali tangan kiri menggaruk kepala. Ia tersadar, sudah tiga hari lamanya tidak keramas. Segera ia menuju kamar mandi beralas semen dan berpintu seng.
Badan terasa segar, ia menggelar sajadah merah pemberian tetangga yang sudah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci tahun kemarin. Dipakainya mukenah kusut tak disetrika miliknya satu-satunya. Setelah sholat, ia menuju dapur menengok ibunya yang sedang memasak. Ibu Dila yang memakai daster sedang meniup api tungku melalui bambu kecil. Dilihatnya asap sudah mengebul di atas nasi yang sudah masak 5 menit yang lalu. “Jangan lupa nanti bantu ibu membuat kue, ya nak”, sapa ibu Dila.
Dila adalah seorang gadis berusia 15 tahun yang sedang duduk di bangku kelas 8 Sekolah Menengah Pertama. Ia tinggal di sebuah kota kecil kawasan Tapal Kuda di Jawa Timur. Dila bukanlah anak berprestasi di sekolahnya. Peringkatnya hanya sampai 12, itu pun hanya sekali saat kelas 5 SD. Ia bukanlah anak yang penuh semangat belajar. Baginya sekolah hanya untuk melaksanakan kewajiban.
Ayahnya seorang buruh produksi pabrik kayu dengan upah tak sampai UMR. Ibunya juga hanya menjual kue-kue basah dan kering untuk menambah uang belanja. Walaupun sering tidak laku, ibunya memaksa untuk tetap berjualan menitipkan kue di warung-warung kecil sekitar rumah. Sedangkan kakak laki-laki satu-satunya, Kak Adi. Yang terpaut usia 10 tahun, sedang merantau ke Jakarta dari tiga tahun yang lalu.
Sudah setahun lamanya, ia tidak pernah keluar rumah. Sesekali hanya pergi ke warung kelontong apabila disuruh ibunya membeli minyak goreng ataupun telur. PSBB membuatnya frustasi, ia yang biasa pergi kesana kemari sekadar menghilangkan penat bersama teman-temannya. Saat ini, ia hanya bisa terkurung dalam rumah kecil sederhana berpagar putih.
Hari berganti hari, tetapi pandemi tidak menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Semua orang memakai tameng kain penutup mulut dan hidung. Wastafel bertebaran di setiap sudut tempat. Orang-orang terbiasa membawa hand sanitizer di dalam sakunya.
Dila tersentak saat knalpot motor bebek ayahnya telah berbunyi. Menandakan ayahnya telah berangkat menuju pabrik. Ia raih handphone di dalam saku kanannya. Waktu beranjak menuju pukul 07:00 WIB. Segera ia berlari menuju kamar membuka laptop bekas pemberian kakaknya setahun yang lalu. Tidak lupa ia memakai bedak seperlunya, seragam dan kerudung putih. Ia tidak peduli walaupun hanya menggunakan celana pendek.
Segera ia tarik kursi kayu dan mendudukinya. Ia tersenyum dan mengatakan “waalaikumsalam”, saat pria paruh baya berkacamata di dalam layar mengucapkan salam. Yang tidak lain dan tidak bukan, beliau adalah Pak Joko, guru Pendidikan Agama Islam. Barang 30 menit telah berlalu dan Dila terlelap di sebelah laptop yang masih menyala. Suara ketukan pintu dan panggilan ibunya seketika membangunkan Dila. Ia segera menutup laptop dan tidak menyadari bahwa kelas online telah usai.
Ya, rutinitas kelas daring menjadi kesehariannya. Mengikuti kelas walau hanya untuk absen kehadiran. Tugas-tugas masih terus bertambah. Stress dan rasa bosan sudah pasti menggelayuti. Bangun pagi setiap hari, kadang tidak mandi asal memakai jilbab pasti tidak ada yang mengetahui. Entah kapan Covid-19 akan pergi. “Oh corona, oh kelas online”, ucap Dila dan beranjak dari kursi. Segera melemparkan tubuhnya ke atas kasur bersprei biru putih.
Ingatannya kembali kepada masa-masa sekolah luring normal di sekolah. Ia yang dulu bermalas-malasan begitu rindu momen saat telat datang sekolah, usil kepada teman ataupun dihukum karena tidak mengerjakan PR. Ia tidak menyangka jika sekolah normal begitu menyenangkan. Sementara dahulu saat bersekolah normal, ia berharap segera libur lama seperti libur akhir semester. Ataupun ingin waktu jam sekolah segera habis. Kali ini setelah merasakan sekolah di rumah berbulan-bulan, ia begitu menyesal.
Ia membayangkan saat berlarian kesana kemari mengejar bola basket. Teringat saat ia tertidur di dalam kelas waktu Pak Bagus menerangkan materi sejarah pembentukan BPUPKI. Serta saat ia harus dijewer telinganya oleh Bu Anik, guru BK karena sering terlambat datang sekolah.
Suara ketukan pintu untuk keduakalinya kembali membuyarkan lamunan. Dari balik pintu, ibu Dila memanggil. “ayo nak, cepet bantu ibu”. Segera Dila membuka seragam dan jilbab putih yang masih menempel di tubuhnya. Ia memasangi badannya dengan kaos biru pendek bertulisan latin kata ‘strong’. Hadiah ulang tahun ke-12 pemberian sahabatnya.
Dila melangkahkan kaki satu persatu menuju dapur dan melihat ibunya sedang menuang sebungkus tepung terigu ke dalam baskom. Dila meraih loyang dan mengoleskan mentega dengan kuas diatasnya. Kemudian ibunya bertanya, “bagaimana tadi kelas online-nya, nak?”. Seru Dila cuek, “seperti biasa bu, ketiduran”. Ibu Dila menoleh ke arah Dila sambil mengernyitkan dahi, ”ya Allah nak, kamu harus niat kalau sekolah”. “Aku bosan bu, belajar online dan di rumah terus bu, aku pingin sekolah seperti biasa, aku kangen maen sama temen-temen”, balas Dila dan matanya tetap tertuju ke arah loyang.
Kejamnya pandemi telah menghancurkan segala aspek kehidupan. Separuh buruh di pabrik tempat ayah Dila bekerja, telah di PHK. Masih beruntung karena ayah Dila bukanlah salah satunya. Sudah tiga bulan ini, Kakak Dila yang merantau tidak mengirimkan uang bulanan. Sementara kue-kue yang dibuat ibu Dila terpaksa dibagi-bagikan kepada tetangga daripada basi karena tidak laku.
Pemasukan berkurang sementara pengeluaran bertambah. Akibat diberlakukannya sekolah online. Ibu Dila harus memutar otak karena harus membeli kuota paket internet lebih banyak. Dila telah terbiasa dengan Zoom, Google Meet dan aplikasi meeting lainnya.
Setelah membantu ibunya di dapur, Dila bergegas menyalakan TV. Karena hanya TV, satu-satunya hiburannya selama pandemi. Memencet tombol-tombol pada remote dan tidak ada yang menarik perhatiannya. Tepat pada channel saluran TV nomor 4, fokusnya tertuju pada headline judul berita. ‘Vaksin Covid-19 Telah Ditemukan, Ada Harapan Baru’.
Seketika Dila tersenyum sumringah, semangatnya kembali menggebu-gebu. Berita terkait vaksin menjadi pemantik gairah hidupnya untuk terus berjuang. “Yeay, sebentar lagi sekolah lagi”, ucap Dila dengan riang.
Dibalik keterbatasan pasti ada jalan. Dila merasa akibat pandemi ini, ia lebih dekat dengan keluarganya. Bersenda-gurau dengan ayahnya yang pulang kerja lebih awal akibat pemotongan jam kerja. Ia bisa membantu ibunya membuat kue dan masak di dapur. Dan terpenting minatnya untuk membaca buku dan belajar sempat meningkat karena hanya buku yang setia menemaninya saat bosan menghadang.
Ia sedang membayangkan rencana kegiatan yang akan dilakukan saat PSBB telah usai. Ia ingin sekali berkunjung ke rumah sobat karibnya. Ia ingin sekali menikmati semilir angin pantai di kotanya. Yang jaraknya sekitar 30 menit dari rumah. Melihat dempuran ombak menghantam karang, anak pesisir berlarian serta pemuda menenteng alat pancing dan ikan-ikan.
Lamunannya terus berlanjut, bahkan ia berencana untuk membuat list kegiatan yang akan dilakukan. Dila begitu optimis bahwa wabah Covid-19 akan hilang. Ia berharap setelah pandemi akan ada kebahagiaan yang akan datang.
Tidak terasa, jam dinding di ruang keluarga telah menunjukkan pukul 12:00 WIB. Matahari telah berada tepat diatas ubun-ubun. Hawa panas masuk melewati lubang ventilasi. Bedug sudah berbunyi, menandakan waktu sholat dhuhur telah tiba. Dila segera menyeret kakinya ke dalam kamar mandi. Ia putar kran air ke arah kanan dan segera membasuh tubuhnya sesuai ketentuan wudhu.
Kembali ia meraih sajadah dan mukenah, kemudian melaksanakan sholat dengan khusyuk. Ia yang terbiasa langsung beranjak setelah sholat, kali ini bersimpuh lebih lama dihadapan Tuhan. Mulutnya tidak henti mengucapkan doa-doa dan sholawat.
Diambillah sebuah Qur’an besar bersampul hijau, ia membuka lembar demi lembar. Ia terhenti pada Surah Al Baqarah ayat 286, yang artinya ‘Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya…’. Ia bermunajat dan berdoa, “Ya Allah, kapan pandemi ini segera berakhir? Aku janji akan belajar lebih giat lagi kalau sudah sekolah normal seperti biasa”. Tidak terasa air mengalir dari pelupuk matanya dan ia berusaha menghapus pipinya yang basah.
Saat malam hari, tepatnya pukul 7 merupakan waktu yang ia tunggu-tunggu. Berkumpul bersama ayah dan ibu. Bercerita kesana kemari berkeluh kesah. Ayah membuka pembicaraan dengan menyeruput secangkir kopi hitam tanpa gula. “Bagaimana bu, apakah Adi sudah ada kabar?”. “Belum pak, katanya banyak yang dirumahkan, gajinya juga dipotong”, ucap ibu Dila dengan muka masam. “Ya sudah, tidak apa-apa bu, kita syukuri apa saja yang ada saat ini”, balas ayah. Dila segera teringat dengan berita di TV siang hari tadi, “pak, bu, vaksin Covid-19 sudah ada loh, berarti bentar lagi aku bisa sekolah lagi dong ya?”. “Wah benar? Alhamdulillah kalau begitu”, jawab ayah dibarengi senyum sumringah.
Walhasil karena ibu Dila penasaran, beliau menghidupkan TV 21 inchi keluaran tahun 1999 itu. “Ibu pingin lihat beritanya, dimana ya?”, tanya ibu Dila sambil menekan tombol angka pada remote. “Nah itu bu, ada berita”, Dila sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah layar TV.
Mata Dila berkaca-kaca seketika melihat judul berita. ‘Tidak Ada Tanda-Tanda Covid-19 Hilang, Sekolah Daring Terus Diberlakukan’. Ayah dan Ibu Dila terdiam sembari menengok anaknya yang nampak murung. Mereka tidak bisa berkata-kata karena melihat anaknya yang sedih.
Tidak ingin terdiam dalam sunyi dan sepi, ibu Dila mengucapkan satu dua kata. “Gapapa nak, kalau di rumah, kan kamu bisa bantu ibu, ya”. Dila hanya mampu menganggukkan kepala dan tersenyum kecut karena sudut bibirnya yang tidak bisa diangkat. Dila hanya mampu meratapi nasibnya. Setahun bukanlah waktu yang sebentar apabila dihabiskan hanya untuk rebahan bermalas-malasan di rumah saja.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu pula. Tidak nampak tanda-tanda pandemi segera berakhir. Setiap hari Dila habiskan waktu hanya untuk makan, tidur, sekolah online, membaca buku, menonton TV dan membantu ibunya memasak. Tidak ada sesuatu hal yang istimewa. Semua nampak buruk dan mengesalkan batinnya.
Ia buka sebuah novel bersampul merah muda dengan gambar hati. Novel itu menceritakan kisah percintaan masa-masa SMA. Biasanya Dila menghabiskan satu novel bisa berbulan-bulan lamanya. Karena menganggur di rumah saja, lembar tiap lembar tidak terasa ia babat habis. Tidak seperti novel percintaan pada umumnya, novel ini begitu istimewa bagi Dila. Novel obral berharga lima belas ribu rupiah yang ia dapatkan di sebuah bazaar buku itu. Menyimpan kenangan mengesankan, mengapa tidak, ia harus senggol sana senggol sini berebut dengan gadis berusia dua puluh tahunan.
Selanjutnya ia teringat akan tugas Fisika materi gaya. Ia geser beberapa buku yang berada di atas meja. Ia raih buku LKS Fisika berwarna kuning bergambar jungkat-jungkit dan bola sepak. Ia buka halaman 23 yang berisi soal-soal. Rumus-rumus fisika yang begitu banyak membuatnya kelimpungan. Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan rumus, “F = m x a”. Seketika ia teringat meme yang dilihatnya di internet. ‘Menurut ilmu fisika, tekanan berbanding lurus dengan gaya. Jadi, kalau hidupmu serasa penuh tekanan, mungkin karena kamu kebanyakan gaya’. Mulut Dila tersungging, tersenyum dan bertanya. “Apakah karena aku banyak gaya, makanya hidupku banyak tekanan, ya?”. Ia kemudian hanya tertawa sendiri meratapi nasib.
Ketika telah lelah belajar, ia kebingungan untuk melakukan apa. Ia hanya menengok ke atas, ke kiri dan ke kanan. Melihat suasana kamar sempitnya yang berukuran 2x2 meter. Ia begitu beruntung, di usianya masih muda telah dianugerahi sebuah kamar pribadi. Ia tempel stiker-stiker di dinding yang bercat biru. Tidak lupa menempelkan beberapa poster bergambar Lee Min Ho, artis Korea fans sejuta umat. Poster yang ia beli di pinggir jalan sebuah Pasar Minggu di kotanya. Karena tidak tau harus berbuat apa, tanpa pikir panjang ia memasrahkan dirinya untuk ditarik oleh kekuatan gaya gravitasi kasur.
Ia hanya menatap HP saat meletakkan punggungnya di atas kasur. Sesekali menggeser ke kiri, kanan, atas dan bawah layar hp dengan case bermotif bunga. Membaca komik-komik online dan gambar-gambar di Instagram. Kadangkala membuka YouTube untuk mendengarkan lagu Bruno Mars berjudul Marry You. Ya, banyak siswa yang berakhir dengan pernikahan muda karena bosan sekolah online. Tetapi Dila tidak pernah berpikiran untuk menikah muda. “Mengurus hidupku saja masih susah”, pikirnya.
Entah mukjizat apa yang menghampirinya. Saat membaca artikel di sebuah situs terkenal. Banyak ide-ide bermunculan di dalam kepalanya. Ia yang juga suka menulis telah menemukan topik-topik menarik. Segera ia membuka aplikasi Note dan mengetik apa-apa saja yang ia pikirkan.
Rasa malasnya mulai hilang berganti dengan semangat untuk menulis. Ia membuka laptop usang harga dua jutaan itu dan mulai membuka aplikasi Word. Ia mulai mengarahkan jari jemarinya untuk menari-nari menuliskan kata-kata cemerlang. Kebiasaan buruk Dila kembali datang, ia kembali tertidur pulas saat sedang asyik mengetik.
Pada sore hari, selalu ada Bu Rina yang datang ke rumah. Sekadar ghibah tetangga dan urusan artis-artis sinetron. Sesekali ia berkeluh kesah menceritakan anak bungsunya, Tino yang tidak mau belajar selama pandemi ini. Bu Rina menyampaikan rasa kesalnya karena susah mengajari anaknya sendiri. Senyap-senyap suara Bu Rina menggugah hati Dila, “gimana kalau aku ngajar aja, daripada gabut”.
Dila yang kala itu keluar dari kamar dengan mata sembab dan rambut berantakan karena belum mandi. Menawarkan kepada Bu Rina untuk mengajar Tino di rumah. Mendengarkan hal itu, sudah barang tentu Bu Rina beranjak dari tempat duduknya dan merasa bahagia. Akhirnya diputuskan bahwa setiap hari senin sampai sabtu dari jam 4-5 dilaksanakan les tak berbayar di rumah Dila.
Keesokan harinya, merupakan hari pertama Dila sebagai guru bagi anak-anak tetangga. Cukup belajar membaca, menulis dan berhitung tidak akan membuat kepalanya pusing. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, ada yang mengantuk, tidak mendengarkan, berlarian kesana kemari. Namun hal itu tidak menghentikan semangat Dila untuk tetap mengajar.
“Walaupun aku gak pintar, tapi aku gak bodoh-bodoh amat lah”, batin Dila. Ada rasa kegembiraan tersendiri yang menghampiri ketika melihat anak-anak lancar membaca. Meskipun tidak menetapkan tarif alias gratis. Setidaknya Dila bangga bisa bermanfaat dan membantu sesama.
Semakin hari nama Dila semakin dikenal karena mampu mengajar anak-anak. Dari tidak dibayar hingga ada yang memberinya uang walau puluhan ribu rupiah. Uang receh itu setidaknya bisa membantu membeli gula pasir di rumah. Orang tua Dila begitu bangga melihat perubahan positif yang telah terjadi kepada buah hatinya.
Wabah ini tidak hanya mendatangkan musibah. Namun pasti ada pelajaran dibalik itu semua. Waktu luang yang melimpah selama corona memaksa banyak orang untuk berpikir kreatif. Tidak hanya berusaha mengenyangkan perut semata. Kegiatan berfaedah nan bermanfaat sedikit demi sedikit akan bermunculan. Satu kata sangat bermakna yang dirasakan oleh Dila, yaitu ‘Sabar’.