Misteri Patung Garam merupakan novel karya Ruwi Meita yang mengangkat tema thriller dan psikologis.
Tiga pembunuhan dengan jejak mahakarya yang senada, mayat perempuan dengan lumuran adonan garam yang mengeras. Ketiga mayat perempuan tersebut ditemukan dalam posisi sesuai dengan pekerjaan mereka. Satu mayat ditemukan membujur kaku dengan pose sedang bermain piano, ia seorang pianis. Mayat kedua ditemukan berpose kaku sedang melukis. Mayat terakhir ditemukan dalam keadaan melakukan tindakan amoral.
Mayat pertama dan kedua memiliki kesamaan, semua organ dalamnya lenyap, menyisakan tubuh kosong tanpa isi serta rambut palsu merah panjang yang menutupi kepala botak mereka. Mayat ketiga lumayan berbeda, organ dalamnya masih utuh, namun posisi ia meninggal sangat tidak mencerminkan pekerjaan yang ia lakoni, seperti yang terlihat selama ini.
Karya Ruwi Meita kali ini tetap menegangkan dengan plot twist tidak terduga di bagian akhir. Dari halaman pertama bagian prolog, buku ini seakan memiliki daya magnet yang sangat besar seakan memerintahkan pembaca untuk tidak beranjak sebelum mencapai halaman terakhir.
Setiap bab sukses membuat pembaca bertanya-tanya, apa motif pembunuh dengan melumuri para korbannya dengan adonan garam, kemudian membuat pola serta simbol aneh di sekitar lokasi para korban terbaring, seakan menandakan bahwa ia sangat menikmati hasil kerjanya.
Selain menyajikan cerita pembunuhan dengan misteri patung garam, cerita kali ini juga mampu membuat pembaca tersenyum di beberapa bab, seperti ketika mendengar percakapan konyol Kiri, salah satu tokoh utama dalam cerita ini, dengan Inspektur Saut, partner Kiri dalam menguak misteri pembunuhan.
Terbagi ke dalam tiga bagian utama dengan fokus pada satu pembunuhan di tiap bagiannya, bab-bab menjelang penyelesaian konflik dan pengungkapan pelaku sebenarnya benar-benar membuat pembaca tidak berhenti menghela napas sejenak, mengarahkan pandangan ke tembok di depan, dan mencoba menebak-nebak siapa kira-kira pembunuh ‘sebenarnya’. Pembaca memang digiring pada satu tersangka tunggal, namun plot twist di akhir cerita benar-benar menjungkirkan segalanya.
Terlepas dari pembunuhan sadis yang diceritakan, ending novel ini cukup manis dan akan membuat sebagian pembaca meleleh. Seakan pembaca baru saja tidak membaca cerita thriller dengan seorang psikopat yang senang membuat mahakarya dengan mayat-mayatnya.
Namun, bagian manis dan meleleh bagaikan gulali yang melumer di mulut itu hanya berlaku di bab akhir. Pada bagian epilog, pembaca akan kembali dibuat tegang dan tidak tenang. Seakan menandakan bahwa petualangan Kiri tidak berakhir di sana, masih ada ‘orang’ lain yang berpotensi menjadi pembunuh berikutnya.
Sebuah cerita yang sangat membius. Mungkin sedikit yang terasa kurang adalah, kita sudah digiring tanpa sadar sejak pertengahan cerita, pada satu tersangka tunggal, dan memang tidak ada tersangka lain yang ditawarkan penulis yang bisa mengecoh pembaca. Pembunuh sebenarnya memang tersangka tersebut, tapi bukan dia secara langsung.
Pesan moral yang dapat diambil dari cerita ini, didikan orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap dan mental seorang anak. Bagaimanapun juga, kejadian masa kecil akan menentukan masa depan seorang anak. Jangan menuntut terlalu berlebihan.
Lantas, ada apa dengan garam? Apa arti simbol yang dilukis dengan garam di sekitar tempat korban ditemukan? Dan, mengapa harus garam? Jawabannya akan terkuak seiring bab demi bab, jadi bacalah.