Buku ‘Membuka Pintu Harapan’ (Quanta, 2018) yang ditulis oleh Prito Windiarto ini menarik dijadikan sebagai bahan renungan oleh para pembaca, khususnya kaum muda yang sedang merasakan kegalauan, kesedihan karena harapan hidupnya belum kunjung tercapai. Setiap orang memiliki harapan atau sederat hal yang bisa dicapai, termasuk saya misalnya.
Dulu, saya sangat berharap bisa menjadi seorang penulis yang tulisannya bisa dimuat di berbagai media massa. Saya pun berusaha mewujudkannya dengan cara belajar secara mandiri, juga belajar dari teman-teman penulis, banyak membaca, sering berlatih menulis, hingga akhirnya perlahan-lahan, satu demi satu tulisan saya menghiasi berbagai media massa. Proses yang saya lalui tentu sangat panjang dan berliku hingga bisa menjadi penulis seperti sekarang ini. Misalnya, banyaknya naskah yang ditolak di berbagai media yang kadang membuat saya lelah dan kadang ingin menyerah.
Kini, setelah bertahun-tahun menekuni dunia kepenulisan, saya sudah terbiasa saat menghadapi penolakan demi penolakan dari berbagai media. Hal tersebut justru dapat memacu semangat saya untuk berkarya lebih baik lagi. Saya berusaha menanamkan keyakinan atau harapan bahwa setiap orang bisa meraih apa yang diinginkan. Dengan kegigihan, kerja keras, dan sikap pantang menyerah, saya yakin Allah akan mengabulkan apa yang kita upayakan.
Bicara tentang harapan memang penting. Ya, karena setiap orang memang harus memiliki harapan dalam hidup ini. Hidup tanpa harapan tentu akan terasa hampa tanpa makna. Saya setuju dengan pendapat Prito Windiarto dalam buku ‘Membuka Pintu Harapan’ bahwa di tengah badai prahara, selalu ada harapan. Selalu ada jalan kebangkitan. Hanya saja, bisa jadi kita belum tahu atau mungkin kita sudah tahu, tapi mengabaikannya.
Salah satu cara untuk membangkitkan harapan, adalah dengan banyak membaca atau menyaksikan kisah orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik tetapi dia mampu bangkit dari keterpurukan dan berhasil mewujudkan impiannya. Bahkan, mereka bisa melakukan aktivitas yang tak mampu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki fisik lengkap.
Hellen Keller misalnya, sebagaimana diuraikan Prito Windiarto dalam buku ‘Membuka Pintu Harapan,’ ia adalah gadis belia dengan keterbatasan. Sedari kecil, maaf, ia tuli, bisu, dan buta. Keterbatasan itu seperti menutup dunia baginya. Namun, nyatanya masih ada harapan terbuka lebar untuknya. Dengan bantun sang pengasuh, gurunya terutama, ia tumbuh. Keterbatasan fisik tak jadi halangan. Ia belajar lewat sensitivitas rabaan telapak tangan. Belejar terus dengan gigih. Hingga akhirnya, wanita yang awalnya mengira dunia seperti tak berpihak baginya, kini tumbuh menjadi pribadi inspiratif. Ia menjadi pembicara di berbagai forum, menjadi penulis buku motivasi, dan lain-lain. Dunia pun mengenalnya sebagai sosok yang pantang menyerah.
Kemudian, kisah Oto, pria yang terlahir tanpa memiliki tangan dan kaki dalam buku ‘Membuka Pintu Harapan’ juga sangat inspiratif. Beruntung Oto lahir di tengah keluarga yang mau menerima kondisi dirinya. Ayah dan ibunya mengasuhnya dengan penuh cinta. Setiap hari Oto berada di kursi elektronik. Keadaannya yang tak memiliki tangan dan kaki menyulitkannya untuk mendapatkan sekolah yang mau menerimanya sebagai murid.
Namun Oto masih memiliki harapan. Ia tak menyerah. Baginya, keterbatasan fisik bukan alasan untuk tak sekolah. Ia terus berusaha mencari sekolah yang mau menerimanya. Akhirnya ia menemukannya juga. Selepas SD, ia bersekolah di SMP Yohga dan SMA Toyama Metropolitan. Prestasinya baik. Kecerdasannya mengantarkannya kuliah di Universitas Waseda, salah satu universitas unggulan di Jepang. Selulus kuliah, ia mengabdikan diri sebagai guru di sebuah SD di Jepang. Ia mengajar penuh dedikasi.
Itulah sepenggal ulasan dari buku ‘Membuka Pintu Harapan’ karya Prito Windiarto. Singkatnya, Prito Windiarto dalam buku ini ingin menunjukkan bahwa setiap orang dengan kondisi apa pun berhak dan harus memiliki harapan.