Perempuan adalah makhluk unik yang memiliki segudang persoalan. Persoalan yang dialami perempuan biasanya akan semakin beragam dan pelik ketika telah menjadi seorang istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Mati Tua ini, Joe Mawar yang merupakan penulis perempuan dari Pulau Garam, Sumenep, berusaha memaparkan persoalan-persoalan pelik tersebut.
Salah satu persoalan yang biasa dialami kaum perempuan pasca menikah ialah perihal hadirnya orang ketiga yang mengacaukan rumah tangga yang semula harmonis. Dalam cerpen berjudul “Siklus Kebahagiaan” Joe Mawar mengisahkan sebuah keluarga yang sejatinya sudah terlihat hidup bahagia, baik-baik saja, tampak harmonis dan saling mengerti satu sama lain. Mereka juga sudah dikaruniai anak-anak yang manis, ditambah dengan perekonomian yang lebih dari cukup.
Namun, siapa yang pernah mengira akan muncul badai dari arah tak terduga dan pelan tapi pasti menghantam bahtera rumah tangga Niluh dan Harun? Semua bermula ketika Niluh, yang selama ini telah diberi kebebasan untuk berkarier (mengelola sebuah butik) di luar rumah oleh Harun, bersua kembali dengan Satrian, mantan kekasihnya dulu semasa SMA. Meskipun sudah sama-sama berumah tangga, tetapi pertemuan yang berlanjut saling berkirim kabar lewat gawai tersebut berujung ke hubungan yang lebih serius.
Kepada Linggar, sahabat sesama perempuan, Niluh kerap mencurahkan perasaan dan segala persoalan yang membelit perasaannya. Termasuk keinginannya untuk kembali bersama mantan kekasihnya, tapi di sisi lain ia juga merasa sangat berat untuk berpisah dari Harun yang selama ini selalu pengertian dan sangat sayang kepadanya. Meski telah mendapat nasihat atau pencerahan dari Linggar, tetapi nyatanya keputusan tetap berada di tangan Niluh. Setidaknya, ada satu pesan penting yang bisa dipetik dalam cerpen ini, bahwa memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang berbeda. Memaafkan seseorang yang telah melukai kita mungkin terasa mudah, tetapi untuk melupakan begitu saja kesalahan yang telah diperbuat, ternyata bukan hal yang mudah (Mati Tua, halaman 114-122).
Cerpen berjudul Mati Tua selain menarik disimak juga meninggalan pesan mendalam perihal cara merawat orangtua yang sudah lanjut usia dengan sebaik-baiknya. Cerpen yang terpilih menjadi judul buku ini berkisah tentang seorang perempuan yang usianya sudah sangat tua dan begitu merepotkan banyak orang; di antaranya anak, cucu, serta menantu. Dalam cerpen Mati Tua ini Joe Mawar begitu lihai meramu kata dan menghadirkan sederet konflik tajam yang mampu menguras emosi pembaca. Berikut ini petikan cerpen paragraf pertama yang bisa bikin penasaran pembaca karena secara to the point memaparkan konflik yang terjadi dalam rumah si perempuan tua:
Setiap pagi ia akan merepotkan seluruh isi rumah. Menambah berisik segala suara yang muncul dari segala penjuru. Rengekan anakku, teriakan ibu, seruan bapak, suara suamiku, suaraku sendiri dan suaranya yang seolah berlomba saling menyeruak. Nenek dari mertuaku yang sungguh-sungguh tua! Aku tinggal bersama mereka sebagai menantu. Dengan dua anak perempuan yang jarak lahirnya saling berdekatan.
Sebagai seorang menantu yang hidup serumah dengan mertua yang masih memiliki orangtua (ibu) yang sudah sangat tua dan merepotkan, tentu bukan hal yang ringan. Hidup bersama pihak keluarga suami saja sudah terasa berat. Karena idealnya, seseorang ketika sudah menjalani kehidupan rumah tangga, mestinya berusaha memiliki kehidupan sendiri bersama pasangan dan anak-anaknya kelak.
Kendati harus tinggal di rumah kontrakan, misalnya, tetapi itu tentu lebih baik daripada hidup satu atap dengan mertua yang tentunya akan ada campur tangan dan sederet persoalan yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Sebagaimana dialami Inay, tokoh utama dalam cerpen tersebut. Sebagai istri, selain harus mengurus segala keperluan suami dan kedua anaknya yang masih kecil, dia juga harus mengurus segala kebutuhan nenek suaminya yang sangat cerewet dan tak sabaran.
Sebenarnya suami Inay sudah berulang kali menganjurkan pada ibu agar nenek dilayani pembantu khusus untuk melayani semua keperluannya. Tapi ditolak dengan tegas oleh ibu. “Buat apa buang-buang uang membayar orang kalau kita masih bisa sendiri?” itulah salah satu alasan ibu. Namun ketika nenek semakin merepotkan, dan semua anggota keluarga dibikin repot dan sangat kewalahan, termasuk ibu, akhirnya keputusan menyewa pembantu pun disetujui oleh ibu.
Meskipun sudah ada pembantu yang mengurusi segala kebutuhan nenek tetapi muncul persoalan lain. Tepatnya ketika nenek semakin pikun mengenali hasratnya sendiri sehingga sering tak keburu ke kamar mandi dan ompolnya berceceran di kasur dan lantai kamar. Tak hanya itu, nenek juga mulai menggerutu bahwa tak ada yang peduli menyiapkan makanannya padahal baru satu jam sebelumnya nenek bersantap. Nenek sering menyemburkan makanan yang disuapkan ibu. Dengan sabar ibu melayani nenek meski tak jarang ia mengeluh pada menantunya.
Segala apa yang dialami nenek di usianya yang telah mencapai sekitar seratus lebih itu sontak membuat Inay teringat cerita Bi Rus, teman lama ibu mertuanya yang berpapasan secara tak sengaja dengan Inay di sebuah pasar. Bi Rus menceritakan bahwa dulu nenek pernah disumpahi oleh mertuanya “semoga nanti nenek mati tua sekali”. Katanya, mertua nenek pernah merasa sakit hati pada nenek sehingga keluarlah sumpah tersebut. Maka, ketika melihat kondisi nenek yang semakin merepotkan, terbitlah pikiran di benak Inay, “Benarkah nenek punya kesalahan yang membuatnya dikutuk agar mati tua sekali?” (Mati Tua, halaman 12).
Persoalan kaum perempuan yang biasa terjadi di tengah masyarakat ialah perihal gunjingan yang dialamatkan pada perempuan yang tak kunjung menikah. Terlebih bila teman-teman sebaya sudah menikah mengakhiri masa lajang, sementara dirinya belum kunjung memutuskan untuk mencari teman hidup. Persoalan akan bertambah rumit saat si perempuan memiliki adik yang ingin segera menikah. Dalam adat Jawa, katanya pamali bila seorang adik melangkahi atau mendahului melangsungkan pernikahan sementara sang kakak belum menikah. Hal inilah yang dialami oleh Mila, tokoh utama dalam cerpen “Pelangkah.”
Dikisahkan, Niska, adik perempuan Mila sudah merasa mantap ingin mengakhiri masa lajang. Namun oleh sang ibu ditentang karena Mila belum menikah. Kepada Mila, ibu berkata: “Ibu merasa keberatan kalau adikmu menikah terlebih dahulu. Seharusnya kamu yang lebih dulu menikah. Jika kamu sedang dekat dengan seseorang, menikahlah lebih dulu agar tak sampai dilangkahi adikmu.”
Mungkin seperti kebanyakan orangtua lainnya, ibu berpikir bahwa urusan menikah itu semacam giliran atau antrean berobat ke dokter. Siapa yang datang terlebih dahulu, dia berhak diperiksa duluan. Siapa yang terlahir dulu maka ia ‘wajib’ menikah duluan. Tak akan mudah memberi pemahaman bahwa menikah itu perkara jodoh yang tiap orang berbeda takdir dan jalannya (Mati Tua, halaman 80).
Dari total 17 cerpen yang tersaji dalam buku Mati Tua ini, ada satu cerpen yang menurut saya cukup menyita perhatian pembaca, karena kisah yang dialami tokoh utama memang tak biasa. Cerpen berjudul “Karena Namaku Ruhu” yang saya maksud ini mengambil setting di sebuah pesantren dengan tokoh bernama Ruhu yang sedang dilanda kegamangan luar biasa. Di saat para santri ingin menjadi khadam (pelayan) kiai atau ibu nyai, justru Ruhu sebaliknya. Hal tersebut sangat bisa dimaklumi karena kedekatan Ruhu dengan salah satu keluarga kiai tersebut ternyata berujung pada kisah asmara terlarang. Bukan kisah yang jamak terjadi antara laki-laki dan perempuan, tetapi antara sesama perempuan (Mati Tua, halaman 43).
Menurut saya, cerpen-cerpen yang mengangkat persoalan-persoalan pelik yang biasa dialami kaum perempuan dalam buku Mati Tua, setidaknya dapat mewakili apa yang dirasakan oleh kaum perempuan di mana pun berada. Yang bikin menarik, buku ini ditulis oleh seorang penceramah atau dai perempuan yang memiliki aktivitas lumayan padat di tengah masyarakat seperti aktif di berbagai organisasi perempuan dan kepenulisan. Tentu saya berharap, lahirnya buku ini semoga dapat menjadi semacam ‘pencerahan’ atas persoalan-persoalan yang kerap membelit kehidupan kaum perempuan.