Bagaimana kita mendefinisikan standar kenormalan yang ada di masyarakat? Barangkali, kita pernah mendengar mengenai standar kenormalan tertentu seperti harus menikah di usia sekian, memiliki pekerjaan yang stabil di usia sekian, memiliki anak di pernikahan yang kesekian, memiliki kekayaan yang besar di pernikahan yang kesekian, dan banyak lagi. Di dalam masyarakat, tak jarang standar itu dilekatkan terhadap tiap-tiap individu, dan tak jarang pula, pihak yang melekatkannya datang dari orang-orang terdekat: keluarga, saudara, atau tetangga.
Bagi salah seorang penulis Jepang kontemporer, Sayaka Murata, standar-standar itu menjadi sesuatu yang mesti dikritik dan dilawan. Murata sendiri tumbuh dalam lingkungan yang menekannya dengan adanya sejumlah standar tersebut. Namun, Murata jengah dengan standar-standar itu. Ia jengah mengingat orangtuanya dahulu menargetkan Murata masuk ke sekolah tertentu, lalu menikah dengan laki-laki yang memenuhi standar kemapanan yang dipercaya ibunya.
Oleh sebab itu, Murata ingin lepas dan bebas menentukan arah kehidupannya sembari ia mempertanyakan: Kenapa orang-orang begitu sibuk memberi standar atas kehidupan orang lain? Kenapa pula ada standar tertentu supaya seseorang bisa dipandang normal?
Permenungan dan pertanyaannya itulah yang menapasi prosa-prosa yang Murata tulis. Seperti pada novel femonemalnya itu, Convenience Store Woman (Grove Books, 2018), yang edisi bahasa Indonesia-nya diterjemahkan menjadi Gadis Minimarket (Gramedia Pustaka Utama, 2020), Murata mengajukan pertanyaan itu lewat kisah seorang perempuan bernama Keiko Furukura. Di dalam novel tersebut, Keiko dikisahkan sebagai figur yang unik, sebab di usianya yang ke-36 tahun, ia bekerja di minimarket sebagai pekerja paruh waktu selama 18 tahun hidupnya, dan di usia kepala tiganya itu, ia masih berstatus lajang.
Atas statusnya tersebut, orang-orang pun mempertanyakan statusnya dan menekan Keiko supaya mencari pekerjaan yang lebih layak lagi. Selain itu, orang-orang pun menekan Keiko untuk mencari pasangan untuk dinikahi. Kendati penekanan itu tidak selalu datang sebagai paksaan, tetapi Keiko juga kerap mendapati tekanan itu berbentuk sindiran-sindiran tertentu dalam sebuah obrolan.
Bila ada momen mereka berkumpul bersama, atau Keiko bertemu saudara atau teman sekolahnya dahulu, perbincangan tentang status seseorang selalu muncul di permukaan. Dan Keiko menjadi pihak yang sering kali tersudutkan, sebab ia kewalahan dalam merespons pertanyaan-pertanyaan yang datang kepadanya.
Sebab, bagi Keiko sendiri, kehidupannya yang sekarang itu sebenar-benarnya kehidupan yang membuatnya nyaman. Ia bangga menjadi seorang pekerja minimarket. Ia merasa baik-baik saja dengan belum memiliki pasangan. Namun, kenapa orang-orang sedemikian sibuk dalam mengurusi kehidupan dan status yang dimilikinya? Apa mereka tidak memiliki sesuatu hal yang menarik dalam hidup mereka, sehingga mereka melampiaskannya kepada orang lain?
Di situlah, Sayaka Murata melayangkan kritiknya kepada masyarakat yang kerap memberi standar kenormalan tertentu terhadap seseorang. Masyarakat sedemikian sibuk mengatur standar-standar yang ada, hanya demi membuat seseorang memenuhinya dan mendapat label normal.
Namun, sebenarnya apa itu kenormalan? Bukankah itu hanya kontruksi sosial tertentu yang dibuat-buat? Bukankah itu sesuatu yang bisa kita renungkan, kemudian diperbaiki bila memang tidak baik? Itulah pertanyaan yang disimpan oleh Murata dalam novel ini, dan ia ingin pembaca menjawabnya sendiri.