Film Turning Red serta Narasi Unik soal Pubertas dan Parenting

Hernawan | Mohammad Azharudin
Film Turning Red serta Narasi Unik soal Pubertas dan Parenting
Turning Red (imdb)

Dulu, hampir seluruh Disney Princess menggunakan template yang sama. Waktu itu Disney menggambarkan tokoh utama perempuannya dengan individu berkulit putih, tubuh ramping, tak berdaya, dan selalu membutuhkan sosok pangeran sebagai sandaran. Namun, semenjak Disney mengakuisisi Pixar, hal tersebut pun berubah. Kini penggambaran sosok princess lebih heterogen, baik dari segi fisik maupun karakter.

Nah, di tahun 2022 ini, salah satu animasi Disney Pixar yang sangat recommended untuk ditonton adalah “Turning Red”. Tokoh utama mungkin juga yang ambil peran sebagai princess dalam film ini bernama Meilin <<Mei>> Lee. Sang ibu biasa memanggilnya dengan Mei-Mei.

Tidak seperti film-film sebelumnya yang mengusung kehidupan perempuan dewasa, “Turning Red” begitu berani mengambil tema kehidupan remaja. Kita tahu bahwa ada begitu banyak perubahan yang kita rasakan saat menginjak usia remaja, saat kita duduk di bangku SMP. Bahkan, sependek yang saya lihat, perubahan justru lebih banyak terjadi saat di bangku SMP ketimbang di bangku SMA. Bagi beberapa orang (termasuk saya), masa remaja adalah masa di mana kami sering ceroboh dan (terkesan) nakal.

Salah satu perubahan yang terjadi (pada perempuan) saat menginjak masa remaja adalah menstruasi. Mengingat menstruasi itu berwujud darah (yang keluar dari vagina), tentu hal itu kerap menimbulkan kepanikan pada perempuan saat pertama kali mengalaminya. Dalam film “Turning Red”, menstruasi dinarasikan secara unik. Alih-alih menggambarkan menstruasi apa adanya, “Turning Red” justru menggambarkannya dengan sosok Panda Merah. Ya! Berubahnya Mei-Mei jadi Panda Merah mengisyaratkan bahwa ia tengah mengalami menstruasi (seandainya ia hidup di dunia nyata).

Panda Merah bukan hanya mewakili menstruasi, ia juga merepresentasikan perubahan fisik pada diri remaja. Perubahan fisik tersebut salah satunya adalah tumbuhnya rambut di beberapa bagian tubuh. Sama halnya dengan Mei-Mei, beberapa dari kita mungkin dulu pernah menolak keberadaan rambut yang tumbuh di bagian-bagian tubuh tertentu. Maklum! Mungkin dulu kita belum menyadari bahwa itu adalah hal yang normal. Cuma bedanya, Panda Merah berbulu dalam film “Turning Red” sangat menggemaskan, tentu kesannya tak sama jika manusia punya ‘terlalu’ banyak bulu.

Selain itu, narasi soal pubertas yang juga disinggung dalam “Turning Red” adalah munculnya perasaan tertarik pada lawan jenis. Persoalan tersebut ternyata menyulut imajinasi Mei-Mei, bahkan ia jadi sulit untuk fokus belajar. Memang begitulah adanya!

Jatuh cinta punya kekuatan yang sangat besar, sama halnya dengan patah hati. Pada titik ini, Mei-Mei awalnya mencoba menyangkal. Namun, perasaan tersebut justru semakin melekat. Akhirnya Mei-Mei pun larut dalam imajinasi ke-uwu-an. Persis seperti saat kita pubertas dulu, Mei-Mei juga berusaha menyembunyikan perasaannya tersebut dari orang tuanya (terutama ibunya) karena takut.

Masih ada lagi. Mei-Mei yang usianya 13 tahun, merasa telah menjadi orang dewasa. Ia merasa telah mampu memutuskan segala sesuatu atas kehendaknya sendiri. Ia tidak mau lagi diatur-atur oleh ibunya. Begitulah nyatanya kehidupan remaja. Kita selalu ingin keberadaan kita diakui oleh orang-orang di sekitar. Bukan sebagai anak-anak yang tahunya cuma bermain, tapi sebagai orang dewasa yang telah mengerti akan tanggung jawab. Yah, namanya juga pencarian jati diri, pasti ada aja yang dilakuin supaya dapat perhatian dari orang lain terutama dari doi.

Selain menyinggung soal pubertas, film “Turning Red” juga menyentil ‘parenting’. Ibu Mei-Mei diceritakan sebagai sosok yang menuntut kesempurnaan pada anaknya. Mulai dari nilai ulangan yang harus selalu sempurna hingga jam pulang sekolah Mei-Mei yang harus selalu tepat waktu. Apabila Mei-Mei tidak menaati hal tersebut, ibunya akan melempar banyak pertanyaan padanya. Di babak awal film, Mei-Mei mengaku bahwa dirinya telah terbiasa dengan hal itu. Namun, akhirnya diperlihatkan bahwa dalam lubuk hati yang terdalam sebenarnya Mei-Mei lelah dengan semua itu.

Nah, model parenting ibu Mei-Mei tersebut ternyata bukan tanpa sebab. Itu merupakan bauh dari asuhan ibunya (nenek Mei-Mei) dahulu. Dari sini tampaknya bisa dinyatakan bahwa model parenting yang buruk akan menimbulkan efek domino pada keturunan-keturunan berikutnya. Namun, dalam film “Turning Red” akhirnya Mei-Mei berani buka suara bahwa dirinya sangat lelah sebab selalu dituntut sempurna di mata ibunya. Ia lelah tak diizinkan menjadi diri sendiri. Ia lelah melakukan segalanya demi kepuasan ibunya semata, bukan karena ia menyukai apa yang dilakukannya tersebut.

Mulnaya, apa yang dilakukan Mei-Mei tersebut memicu kemarah ibunya. Ibu Mei-Mei lantas berubah menjadi Panda Merah yang sangat besar. Saya rasa, ukuran Panda Merah yang sangat besar tersebut merupakan representasi dari luka-luka yang selama ini dipendam oleh ibu Mei-Mei akibat berada dalam asuhan yang terlampau mengekang.

Seluruh luka tersebut akhirnya meledak menjadi amarah yang begitu besar dan tak terkendali. Lalu bagaimana dengan Mei-Mei yang angkat bicara soal kelelahannya tadi? Yap! Pada akhirnya Mei-Mei berhasil memutus efek domino dari model parenting yang buruk tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa itu juga karena ibu Mei-Mei mau mendengarkan apa yang dikatakan anaknya. Seandainya ibu Mei-Mei tutup telinga, ya..... semua akan sia-sia.

Film “Turning Red”, menurut saya, justru sangat direkomendasikan untuk ditonton oleh para orang tua. Asalkan orang tuanya paham pesan film tersebut dan mau belajar darinya. Pasalnya, mungkin ada banyak orang tua yang justru salah memahami esensi film “Turning Red”.

Sebagai contoh, mungkin ada yang menilai bahwa Mei-Mei adalah anak yang kurang ajar. Padahal, Mei-Mei hanya meluapkan seluruh rasa lelahnya akan tuntutan yang selalu dibebankan padanya. Hah! Andai saja semua orang tua mau belajar parenting, mungkin nggak akan ada anak yang dijadikan ‘investasi’. Tampaknya, isu-isu seperti ini memang harus banyak disorot. Supaya apa? Tidak ada anak yang menyimpan luka seperti ibu Mei-Mei karena model asuhan yang buruk, di mana luka tersebut justru akan jadi bom waktu yang daya ledaknya sangat besar.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak