Novel Tingka menceritakan perjalanan Jonathan, mahasiswa tingkat akhir yang datang sendirian ke Pulau Tingka untuk meneliti kehidupan masyarakat di sana. Pulau Tingka digambarkan terletak di timur laut Pulau Madura. Penduduk asli Pulau Tingka 100% menganut aliran kepercayaan Midaya. Penganut aliran kepercayaan Midaya ini, menyembah Mahadewi Midaya dan 12 dewi lainnya. Sama seperti sesembahan yang berjenis kelamin perempuan semua, para pemuka aliran kepercayaan ini juga perempuan semua. Tidak ada laki-lakinya.
Kembali ke Jonathan. Sebetulnya, Jonathan datang ke Pulau Tingka bukan untuk penelitian skripsi. Tapi, dia datang untuk menuntaskan misi Tazky, pacarnya yang sudah meninggal. Misi itu adalah mencari ayah Tazky yang menghilang selama puluhan tahun. Ayah Tazky itu penduduk asli Pulau Tingka yang merantau ke Pulau Jawa. Saat Tazky masih anak-anak, ayahnya meninggalkan dia dan ibunya untuk kembali ke Pulau Tingka. Ayah Tazky bilang, kalau dia mau masuk Kuil Midaya untuk mengabdikan diri sebagai hamba para mahadewi.
Bagaimana bisa? Bukannya tadi sudah disebutkan kalau pemuka aliran kepercayaan Midaya, perempuan semua? Buat teman-teman yang bertanya-tanya, saya tidak mau memberi tahu. Maunya kasih senyum saja. Hehehe.
Lanjut ke Jonathan, selama “penelitian skripsi”, dia berusaha mengorek banyak informasi untuk mencari keberadaan ayahnya Tazky. Apakah berhasil? Yang ada, Jonathan malah terseret dalam pusaran konflik yang berhubungan dengan sejarah kelam Pulau Tingka. Dia juga kemudian terlibat dalam masalah yang berhubungan dengan “hantu” penghuni mercusuar Pulau Tingka.
Itulah gambaran isi novel Tingka.
Novel Tingka ini, sebenarnya diterbitkan dalam bentuk e-book. Kalau dalam versi e-book, novel ini ada tiga jilid. Sedangkan versi print on demand, dapat diperoleh lewat pengarangnya.
Novel Tingka ini genre-nya thriller mistery. Trigger warning-nya, novel ini mengandung adegan suicide. Tepatnya di dua bab terakhir yaitu bab 27 dan bab 28. Buat teman-teman yang tidak nyaman dengan topik ini, saya sarankan tidak usah baca.
Di novel ini, saya menemukan setidaknya empat hal yang perlu di-highlight. Pertama, segala sesuatu yang tampak relijius, belum tentu suci. Ini relate sekali sama kasus-kasus di Indonesia, belakangan hari, ketika ada pemuka-pemuka agama melakukan pemerkosaan terhadap para siswa dari lembaga berbasis agama yang mereka kelola.
Kedua, tentang diskriminasi terhadap penganut aliran kepercayaan. Kita sama-sama tahu, ini adalah isu nasional. Ada orang-orang yang berbeda keyakinan yang jumlahnya minoritas, kemudian mendapatkan persekusi dan intimidasi dari orang-orang yang lebih mainstream. Padahal, penghayat kepercayaan diakui secara resmi oleh negara lewat UUD 1945 pasal 28 E ayat 2 dan pasal 29 ayat 2. Dan per Juli 2018, kolom agama di KTP, KK, atau dokumen resmi lainnya sudah bisa diisi dengan keterangan: penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Ketiga, tentang bagaimana tantangan dan rintangan dalam hubungan romantik lintas agama? Dalam novel ini, dicontohkan hubungan pernikahan ayah dan ibu Tazky serta hubungan asmara antara Tazky dengan Jonathan.
Keempat, tentang otoritas perempuan di bidang keagamaan. Seperti sudah disampaikan, dalam novel ini, sesembahan dan pemuka aliran kepercayaan Midaya, semuanya berjenis kelamin perempuan. Ini berbeda dengan realitas di masyarakat, di mana pemuka agama seperti kyai, pastor, pendeta berjenis kelamin laki-laki.
Jika ada yang mengatakan sastra adalah cerminan realitas di masyarakat, maka lewat novel ini, kita dikasih tunjuk kebalikannya, bahwa sastra memiliki dan menciptakan realitasnya sendiri yang bisa jadi adalah kebalikan dari realitas di masyarakat.
Bicara soal kelebihan novel ini, setidaknya ada dua yang bisa saya sampaikan. Pertama, ada cukup banyak suspense yang membuat saya ketagihan membaca novel ini sampai selesai. Misalnya, tentang “hantu” penghuni mercusuar, terus tentang rahasia hubungan Jonathan sama Tazky yang baru kebongkar di bab-bab akhir. Ada juga tentang teka-teki Hamba Agung Dei, pemuka aliran kepercayaan Midaya yang punya banyak kontribusi dan jasa, tapi nama dan kiprahnya sengaja dihapus dari sejarah di Pulau Tingka.
Kedua, unsur lokalitas di novel ini, cukup kuat dan believable: tentang penggambaran kondisi alamnya, keseharian penduduknya, ritual-ritual Midaya, dan kuliner khas Pulau Tingka. Semuanya imajinatif, tapi Nicco Machi memaparkannya dengan cukup meyakinkan.
Soal hal yang saya tidak sreg dari novel ini adalah tentang adegan suicide di dua bab terakhir. Kenapa masalah “harus” diselesaikan dan diakhiri seperti itu? Jadi ceritanya seperti menawarkan pesimisme. Persoalan pelik diselesaikan dengan jalan pintas yang tidak bertanggung jawab.