Kartini adalah sosok perempuan yang dikenal dengan pejuang emansipasi. Kiprahnya di masa lalu membawa angin perubahan bagi kehidupan kaum perempuan di masa kini. Kartini dengan lantang menyuarakan perubahan. Gagasan-gagasannya yang progresif berusaha mendobrak stigma perempuan lemah menjadi perempuan tangguh yang tak mudah rapuh. Baginya, perempuan tidak boleh lemah dan gampang menyerah pada keadaan. Perempuan harus maju dan bisa berkarya, meskipun tidak harus melupakan kodratnya.
Penetapan Raden Ajeng Kartini sebagai pahlawan nasional pada 1964 menimbulkan kontroversi. Jalan hidupnya yang dianggap “tidak konsisten” mengundang kritik sejumlah sejarawan. Harsja W. Bachtiar, misalnya, menganggap Kartini tak lebih baik dari Dewi Sartika dan Rohana Kudus, yang dinilai lebih berhasil mewujudkan impian mereka. Harsja menilai Kartini tak lebih dari “pahlawan” yang dibesarkan Belanda.
Memang, skala pencapaian Kartini sebagai aktivis sosial tidak masif meski juga bisa diabaikan. Ia membangun sekolah perempuan meski tidak besar. Ia bukan Ki Hajar Dewantoro yang membangun Taman Siswa. Ia tidak berorasi. Ia juga bukan pemikat massa. Tapi, Kartini bukan tidak menggerakkan orang. Lewat surat yang ia tulis kepada sahabatnya, Estelle Zeehandelaar (Stella), yang kemudian diterbitkan dalam buku fenomenal Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mencatat pelbagai hal: kesetaraan gender, feodalisme, dan hubungan antarbangsa.
Selama masa pingitan, ia bergulat dengan pemikiran, dan terseok-seok antara dunia ide dan kenyataan. “Berlalu sudah! Masa mudanya yang indah sudah berlalu!” tulis Kartini menggambarkan nasibnya dalam salah satu suratnya kepada Rosa Manuela AbendanonMandri, istri kedua Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, Industri dan Agama Hindia Belanda.
Dari sudut pandang di atas, sosok Kartini layak ditelaah. Lewat buku Gelap-Terang Hidup Kartini, yang disusun oleh Tim Tempo, kita bisa membaca dan menelaah banyak hal tentang sosok Kartini. Siapa ia, pemikiran-pemikirannya, bagaimana kiprah dan pengaruhnya terhadap kehidupan. Dan, banyak hal yang selama ini menyisakan banyak pertanyaan di kepala.
Sebagaimana diuraikan dalam surat-suratnya kepada Stella, Kartini adalah anak perempuan kedua Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan, meski ibunya perempuan dari kalangan kebanyakan. Dia bergelar Raden Ajeng, tapi ia tidak peduli dan meminta dipanggil Kartini saja. Ia ingin menunjukkan bahwa semua orang sama, tidak dibedakan oleh pangkat, jabatan, atau gelar kebangsawanan (Gelap-Terang Hidup Kartini, hlm. 9).
Apa yang dilakukan Kartini dengan sikapnya yang tidak ingin membedakan orang keturunan ningrat dengan rakyat jelata, bisa menjadi pelajaran bagi kehidupan di masa sekarang. Bahwa sudah bukan saatnya kita melihat dan menilai seseorang dari warna kulit atau dari mana ia berasal. Semua orang sama. Yang membedakan adalah perangai atau akhlaknya.
Meskipun berasal dari keturunan orang terhormat, jika tidak berakhlak baik, orang itu tidak layak dihormati dan dihargai. Begitupun sebaliknya. Meskipun berasal dari orang biasa, orang tersebut layak diberi penghormatan dan diteladani dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan bagi Kaum Perempuan
Sejak masa jahiliyah, perempuan selalu menjadi makhluk terpinggirkan. Bahkan, kehadirannya dianggap musibah atau petaka dalam kehidupan. Tak heran jika pada masa jahiliyah, perempuan banyak dibunuh. Kelahirannya tidak diharapkan dan tak dianggap penting.
Dilansir dari republika.co.id (18/11/2021), Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof KH Asep Usman Ismail, menjelaskan bahwa, perempuan begitu dipandang negatif dalam pergaulan masyarakat jahiliyah. Bahkan, orang-orang jahiliyah menganggap bayi perempuan sebagai aib.
Asep menjelaskan beberapa alasan tentang mengapa orang Arab jahiliyah tidak menyukai bayi perempuan. Orang-orang Arab jahiliyah memandang anak perempuan itu tidak bisa diandalkan dalam banyak hal seperti berebut air, tidak bisa mempertahankan tanah dan rumahnya saat mendapat serangan dari kabilah lain, dan tidak bisa berperang. Perempuan dipandang hanya sebagai benalu dalam keluarga.
Mungkin, inilah yang membuat banyak orang berpikir bahwa, perempuan adalah sosok yang lemah dan tidak boleh berkembang. Perempuan cukup diam di rumah, tak perlu belajar dan menuntut ilmu tinggi-tinggi. Karena, setinggi apa pun pendidikan seorang perempuan, nanti juga berakhir di dapur, sumur, dan kasur.
Stereotip inilah yang ingin dihapus oleh Kartini. Pada masa hidupnya, terutama di kalangan keluarganya yang ningrat, perempuan selalu dianggap lemah. Perempuan harus dipingit dan tak perlu mengenyam pendidikan tinggi. Hal itulah yang dialami Kartini. Saat usia 12 tahun, atas nama adat ia harus menjalani masa pingitan. Kartini dilarang keluar dari kompleks rumahnya yang megah. Jangankan ke pendapa, serambi saja hanya sesekali diinjaknya.
Karena itulah, Kartini bercita-cita membangun sekolah berasrama khusus perempuan, agar perempuan juga memiliki pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kartini menjelaskan, dengan pendidikan, seorang perempuan tak perlu dipingit. Pendidikan, melalui sekolah dan cara-cara lain, akan melengkapinya dengan keahlian yang bisa menopang hidupnya sendiri, juga menentukan jalan hidupnya dalam urusan perkawinan (hal. 12).
Di zaman modern, dengan segala kecanggihan teknologi seperti saat ini, sudah saatnya kaum perempuan bangkit dan sadar betapa pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan. Karena, salah satu pokok perjuangan Kartini adalah memperjuangkan akses pendidikan bagi kaum perempuan.
Kartini sadar bahwa upaya tersebut tidak mudah dan butuh waktu yang panjang. Tapi, ia yakin bahwa perjuangannya suatu saat akan membuahkan hasil.
Apa yang diimpikan Kartini terbukti. Saat ini kaum perempuan juga bisa berkiprah dalam berbagai bidang seperti politik, keagamaan, sosial-masyarakat, dan seni-budaya. Para perempuan masa kini banyak yang bisa diandalkan dan diperhitungkan dalam pelbagai sendi kehidupan.