Selama ini, ibu tiri selalu dicitrakan sebagai perempuan kejam yang gemar menyiksa anak tirinya dengan hukuman fisik maupun cambukan lidah tajam. Namun, profil diri sebaliknya justru dia tampilkan di hadapan suami, sehingga aduan sang anak yang menderita oleh kelakuan ibu tiri tidak dipercaya begitu saja.
Pemahaman tersebut demikian berurat-berakar di masyarakat. Hal itu semakin diperkuat dengan cerita-cerita sinetron yang mengusung ide pemahaman serupa. Akibatnya, perempuan yang menjadi ibu tiri kerap dicibir sebagai sosok jahat penyiksa anak tiri.
Nurhayati Pujiastuti, pengarang produktif peraih IKAPI-IBF Award 2012 Kategori Fiksi Anak Terbaik, berusaha mengeliminir kekeliruan pemahaman tersebut lewat novel ini.
Secara sinoptik, novel ini mengemukan tentang Nayla; gadis cilik manis yang sangat menyayangi keluarganya—yang terdiri dari ayah, bunda, dan seorang adik bayi.
Pada satu kesempatan liburan sekolah, Nayla mendapat “bocoran” cerita dari Wati, saudara sepupunya, yang menyebutkan bahwa bunda Nayla yang sekarang bukanlah bunda betulan melainkan ibu tiri (halaman 6-7, 11).
Nayla tidak percaya begitu saja. Apalagi karena selama ini Bunda selalu mengasuh dan memperlakukannya dengan sangat baik. Hal itu—menurut Nayla—tidak mungkin dilakukan jika bundanya seorang ibu tiri, karena Nayla pikir, ibu tiri adalah sosok yang selalu memperlakukan anak tiri secara kejam.
Ternyata, Wati juga membocorkan cerita yang dia akui sebagai “rahasia” itu pada teman-teman Nayla. Sama halnya dengan Nayla, teman-temannya pun tidak percaya kalau bundanya Nayla itu adalah ibu tiri, karena bundanya Nayla sangat baik, tidak pernah memperlakukan Nayla dengan buruk—seperti ibu tiri (halaman 13-15).
Meski Nayla sendiri tidak percaya cerita Wati, demikian pula teman-temannya, tapi Nayla jadi sedih dan terus bertanya-tanya kebenaran cerita tersebut. Sampai kemudian dia memberanikan diri bertanya pada orang tuanya.
Jawaban Ayah kemudian, sangat mengagetkan Nayla, karena Ayah membenarkan cerita Wati. Ayah bahkan memperlihatkan foto-foto bunda kandung Nayla (halaman 23-24).
Selanjutnya, Ayah sengaja cuti dari kantor untuk mengajak Nayla mengunjungi bundanya yang asli, di sebuah kampung yang lumayan jauh. Mereka berangkat dengan naik bis yang berganti-ganti.
Sampai di rumah tinggal bundanya, barulah Nayla tahu kalau perempuan yang pernah mengandung dirinya selama sembilan bulan itu, ternyata mengalami gangguan kejiwaan.
Parahnya lagi, bunda Nayla tidak diizinkan berobat oleh nenek Nayla yang super galak—yang disebut terakhir ini bahkan mengusir Nayla dan Ayah saat keduanya baru datang (halaman 37-38).
Lewat rundingan empat mata antara Ayah dengan Nenek, akhirnya didapatkan izin kalau Nayla boleh tinggal di rumah itu selama beberapa hari, agar dia bisa berkenalan dengan ibu kandungnya. Di samping itu, Ayah berharap kehadiran Nayla bisa membuat kejiwaan ibu kandungnya berangsur membaik.
Ayah meminta Nayla pelan-pelan membujuk Nenek agar Bunda boleh dibawa berobat. Tentu saja bukan perkara mudah—karena kedatangan Nayla saja sudah membuatnya sangat marah. Apalagi Nenek menganggap ketidakwarasan bunda Nayla tidak dapat disembuhkan, karena itu bukan penyakit, melainkan kutukan! (halaman 47).
Sepeninggal Ayah, Nayla harus seorang diri menghadapi kekerasan hati neneknya. Belum lagi ketidakwarasan bundanya yang tiba-tiba bisa mengamuk, berteriak-teriak; amat mengagetkan dan membahayakan sekeliling.
Hebatnya, Nayla tidak gampang putus asa. Dia justru selalu mengingati dan mempraktikkan semua nasihat dan ajaran bunda di rumah—ibu tiri—pada Nenek dan bunda kandungnya. Nayla senantiasa berbuat baik, berkata-kata sopan, juga menampilkan wajah ramah meski perlakuan sebaliknya dia peroleh dari Nenek dan bunda kandungnya.
Di sinilah sesungguhnya, pengarang novel ini dengan lihai menusukkan gagasannya pada pembaca bahwa ibu tiri pun dapat memberi pengaruh penting dalam hal pembentukan karakter anak sambungnya. Kelakuan dan sifat baik yang dimiliki Nayla justru merupakan hasil tempaan dan didikan sang ibu tiri yang di mata masyarakat selalu dianggap tidak memiliki nilai kebaikan.
Hal ini tampak jelas dari setiap perbuatan yang akan dilakukan Nayla. Meski baru mengenyam bangku kelas empat SD, Nayla selalu menimbang apa yang akan dia lakukan berdasarkan ajaran ibu tirinya. Tidak jarang dia menyitir perkataan ibu tirinya di hadapan orang-orang lain.
Satu kritik untuk novel ini ialah mengenai ketidaksesuaian ISBN yang tertera di sampul belakang dengan ISBN yang dicantumkan di dalam identitas buku halaman 2.
Di luar kekeliruan remeh tersebut, novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca anak-anak demi meluruskan kebengkokan pemahaman bahwa ibu tiri adalah sosok yang jahat.