Luka dan Perjalanan Batin Gadis Indo-Belanda, Ulasan Novel Keberangkatan

Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Luka dan Perjalanan Batin Gadis Indo-Belanda, Ulasan Novel Keberangkatan
Novel Keberangkatan (Dokumentasi pribadi/ Thomas Utomo)

Keberangkatan menceritakan kehidupan Elisabeth Frisart, gadis Indo-Belanda, yang bekerja sebagai pramugari Garuda Indonesia Airways di paruh kedua tahun 1950-an. Keluarga Elisa sudah pergi ke Belanda, menyusul pengusiran besar-besaran terhadap orang-orang keturunan penjajah pada kurun waktu tersebut. 

Elisa sendiri tidak berminat turut serta. Dia bahkan bertekad tinggal di Indonesia buat selama-lamanya. Dia ingin kembali ke akar neneknya, yakni perempuan Jawa. 

Pasalnya, Elisa tengah jatuh cinta mati-matian dengan Sukoharjito, seorang pegawai di Istana Kepresidenan. Jito orang Solo dan berperangai layaknya orang Jawa pada umumnya. 

Demi meraih cinta lebih dari Jito, Elisa belajar bahasa Jawa, wayang, primbon, dan diam-diam ancang-ancang menjajaki kemungkinan menyeberang keyakinan ke Islam.

Dari pihak Jito sendiri belum pernah ada ungkapan atau pernyataan cinta. Setiap pergi bersama, Jito hanya mengucapkan kata-kata manis sambil membelai mesra Elisa. Makin lama, belaian Jito makin berani. Terang-terangan pemuda cakap tersebut mengajak Elisa naik ranjang.

Elisa tidak pernah mau menuruti kemauan Jito. Kendati desas-desus di masyarakat menyebutkan gadis Indo adalah perempuan permisif dan bergaul secara bebas, termasuk bergaul di ranjang, Elisa bukan termasuk rombongan semacam itu. Dia meneguhi keperawanannya, hanya boleh diberikan setelah ikatan perkawinan.

Keluarga Jito, mulai dari keluarga inti seperti orang tua dan adik-adik, maupun sepupu yang sama-sama berprofesi sebagai pramugari, amat menyukai Elisa karena kemolekan sifat maupun fisiknya. Mereka berharap Elisa bisa membuhulkan hubungan dengan Jito dalam bingkai perkawinan. Tapi kemudian, secara mendadak, Jito hilang.

Tidak bisa ditemui dan tidak pernah pamit ke Elisa maupun sepupu Jito. 

Sepupu Jito dengan kerahan bantuan jaringan pertemanannya yang luas, akhirnya berhasil menemukan pemuda itu. Rupanya dia baru saja melangsungkan perkawinan dengan anak salah satu pejabat Istana Kepresidenan. Dia buru-buru kawin sebab anak pejabat tersebut telah berbadan dua lebih dari tiga bulan.

Hati Elisa hancur mendapati kenyataan tersebut. Dia tidak menyangka, sementara menjalin hubungan dengannya, Jito mendobel, menjalin hubungan asmara dengan gadis lain. Ini berarti Jito bukan laki-laki jujur dan ksatria. Ini sepupu Jito sendiri yang menyampaikan. 

Keluarga Jito sendiri menyesalkan perkawinan tersebut. Mereka menemui Elisa dan menyampaikan permintaan maaf.

Dalam pikirannya, Elisa berpendapat, jangan-jangan Jito meninggalkannya karena dia tidak mau diajak berhubungan badan. Seandainya Elisa mau diajak naik ranjang, mungkin akan berbeda kelanjutan hubungan keduanya.

Sepupu Jito dan kawan-kawan serumah kontrakan Elisa meyakinkan betapa pendapat Elisa tersebut keliru. Mereka berupaya menyadarkan Elisa untuk berpikir jernih dan tidak menyalahkan diri sendiri akibat peristiwa perkawinan sang kekasih. 

Berangsur-angsur Elisa menerima kenyataan pahit hidupnya. Ketika ada pemuda asing bersifat gallant mencoba mendekatinya untuk menjalin hubungan serius, Elisa tidak mau menerimanya. Sekadar jalan dan bepergian bersama, tidak masalah. Tapi menjalin percintaan, dia enggan.

Sementara, diam-diam, Elisa menyiapkan dokumen untuk berangkat menyusul keluarganya, ke Negeri Belanda. Cita-cita semula buat tinggal selama-lamanya di Jawa, telah musnah seiring hancurnya cinta dengan Sukoharjito. 

Novel ini ditutup dengan adegan nglangut seperti berikut, 

"Kulayangkan mata ke luar jendela."

"Harinya lembab berhujan kecil. Langit kelabu menyatu dengan air yang berjatuhan. Basahlah tanah. Tanah yang telah berpuluh tahun menjadi tanahku. Kota di mana dua laki-laki mempunyai arti besar dalam hidupku."

"Dengan hati rawan tetapi terang, tanah dan kotaku kutinggalkan." (halaman 190).

Membaca novel ini, pembaca kembali diyakinkan betapa cinta mempunyai dua sisi berkebalikan. Satu sisi membangkitkan cita dan semangat juang. Sisi lain menghancur-leburkan. Kita harus bijak menyikapinya.

Dari segi wawasan, pembaca mendapatkan banyak informasi sejarah seputar peristiwa di paruh kedua tahun 1950, ketika terjadi eksodus besar-besaran orang keturunan Belanda yang telah sekian generasi lahir dan besar di bumi jajahan Indonesia karena persoalan nasionalisme sempit.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak