Sagaras, demikian judul buku ke-13 dari serial Bumi. Novel fantasi ini menceritakan petualangan Raib, Seli, dan Ali ke berbagai dunia paralel. Petualangan ketiganya berhasil membuat pembaca penasaran lanjutannya. Saya adalah salah satu pembaca yang penasaran dibuatnya. Apalagi ada spill di akhir buku ke-12 kalau Sagaras menceritakan asal usul Ali. Ah, tentu saja sangat menarik dan menantang.
Bagaimana tidak, jika dari ketiga sahabat itu, hanya Ali yang belum diceritakan ayah ibunya berasal dari klan mana. Dari seri Bumi sampai Lumpu, rasanya tidak mungkin Ali keturunan murni klan bumi. Di luar kebiasaannya bolos sekolah untuk bereksperimen di gudang bawah tanahnya, Ali digambarkan sosok yang super jenius. Ide-idenya out of the box.
Nah, saat buku ini rilis, saya mengambil pre-order di salah satu toko buku online. Begitu tiba di rumah setelah menunggu sekitar dua mingguan, saya langsung membacanya maraton. Selain ingin segera tahu jawaban siapa orang tua Tuan Muda Ali, sampul cantiknya pun seolah melambai-lambai minta di-unboxing.
Sampulnya berwarna biru muda terang. Namun jangan terkecoh, cerita di dalamnya tidak secerah warna dan gambar di sampul. Ah, iya, tone warnanya berbeda dengan dua belas seri lainnya yang agak gelap. Mungkin ingin memberi nuansa berbeda, ya, karena ternyata Sagaras diterbitkan di Sabak Grip Nusantara, bukan di penerbit sebelum-sebelumnya.
Selain itu, point of view di buku ini berbeda juga. Biasanya cerita dikisahkan dari sudut pandang Raib sebagai orang pertama. Sekarang dari sudut pandang orang ketiga. Seluruh tokoh mendapat porsi seimbang. Namun, bagi pecinta Raib, di sini tokoh Raib agak kebanting dengan kehebatan Seli dengan teknik masa depannya. Saya lebih nyaman membacanya jika Raib yang bercerita. Tapi, itu semua kembali sepenuhnya pada pertimbangan Tere Liye.
Oh, iya, sekarang kita langsung cus ke jalan ceritanya. Hilangnya buku catatan perjalanan Batozar menjadi titik awal petualangan mereka. Pengintai terbaik dari klan Bulan itu menuduh Ali yang mengambilnya. Dia tidak menemukan tertuduh lain. Hanya Ali satu-satunya. Akhirnya Batozar mendatangi sekolah Ali dan kedua sahabatnya. Akan tetapi karena Ali tidak masuk sekolah, Raib dan Seli meminta ijin kepada kepala sekolah untuk mencari Ali.
Mereka terlambat. Ali sudah bergerak sendirian menuju gerbang Klan Sagaras. Sendiri pula dia mengemudikan kapal bertonase besar. Mendengar betapa berbahayanya jalan menuju dunia paralel di bawah laut itu, Raib dan Seli menyusul Ali. Mereka melakukannya atas nama persahabatan. Sedangkan Batozar setia mendampingi ketiga sahabat itu.
Ya, satu buku isinya tentang bagaimana memasuki dunia paralel di dasar laut itu. Nah, di saat Raib, Seli, dan Ali yang dibantu Batozar (sang pengintai terbaik klan bulan) berhasil diterima oleh warga Klan Sagaras dan Ali yang bisa menatap wajah ibunya, cerita berakhir. Hehe, pandai nian Bang Tere Liye mempertahankan rasa keingintahuan pembaca.
Overall, buku ke-13 ini meskipun dipenuhi adegan menegangkan, tetapi vibe-nya sedih. Ada scene-scene mengharu biru dan dialog-dialog yang membuat sudut mata digenangi air. Ditambah dengan kekuatan deskripsi Tere Liye yang tidak perlu diragukan lagi, seolah ada bioskop di benak yang memutar tiap peristiwa di buku ini.
Mata tidak ingin mengakhiri membacanya, apalagi setelah tahu kalau ibunya Ali adalah ksatria Sagaras nomor 1. Namun apa daya, ceritanya harus berakhir. Lanjutan serial Bumi ini bisa dibaca di buku ke-14 dan ke-15, yaitu ILY dan Aldebaran. Huft, tidak sabar menanti kelanjutan.
Apakah ILY yang dimaksud ini adalah kapsul terbang milik Ali yang sudah hancur saat akan memasuki Sagaras? Ataukah ILY sahabat mereka dari Klan Bulan yang telah mati dan ‘dihidupkan’ lagi?