Menapaki Jejak Islam di Benua Biru, Ulasan Buku Berjalan di Atas Cahaya

Hernawan | Thomas Utomo
Menapaki Jejak Islam di Benua Biru, Ulasan Buku Berjalan di Atas Cahaya
Berjalan di Atas Cahaya (DocPribadi/Thomas Utomo)

Islam  dan Eropa. Dua kata yang rasanya sukar diasosiasikan. Di satu sisi,  Islam kerap dituding sebagai agama barbar, terbelakang, mengajarkan  kekerasan, dan anti-perubahan zaman.

Sementara di sisi lain, Eropa  sangat diidentikkan sebagi sumber intelektualisme, karena berbagai  penemuan dan pemikiran penting kebetulan muncul dan berkembang dari  sana. Di samping itu, Eropa juga identik dengan agama Kristen; meski agama tersebut muncul dari Asia.

Pendek  kata, Islam dan Eropa adalah dua hal yang berseberangan dan seolah  mustahil untuk bersanding—apalagi bersatu. Barangkali, karena banyak  negara Eropa yang tidak memberi ruang bagi Islam untuk berkembang. Para  pemeluknya sendiri kerap diintimidasi lebih-lebih yang menampakkan identitas keislamannya lewat busana dan nama.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata Islam dan Eropa memiliki seutas benang penghubung. Hal inilah yang diungkap dalam buku traveling yang dilengkapi 44 ilustrasi foto pendukung ini.

Adalah Hanum Salsabiela Rais, Tutie Amaliah, dan Wardatul Ula. Ketiganya merupakan perempuan asli Indonesia yang berkesempatan tinggal di Eropa untuk mengenyam bangku kuliah.

Pengalaman bertahun-tahun tinggal di benua biru, termasuk bergaul dengan  pola pikir dan sikap hidup masyarakatnya, menerbitkan kesadaran betapa  dekat hubungan Islam dan Eropa. 

Umpamanya  saat Hanum berkesempatan mengenal Khoiriyah; perempuan Aceh yang biasa  dipanggil Bunda Ikoy. Perempuan berjilbab ini adalah satu-satunya muslim  yang bekerja di Swatch Group; sebuah perusahaan sekuler Swiss yang  memproduksi banyak merk jam berkelas dunia seperti Calvin Klein.  

Tentu saja tidak mudah mendapat pekerjaan berbobot di Eropa dengan  jilbab menyelubungi kepala. Tapi Bunda Ikoy membuktikan bahwa permasalahan tak akan berkutat pada boleh-tidaknya menggunakan jilbab. Bagi perempuan yang menikah dengan Marco Kohler—mualaf asli Swiss—ini,  intinya adalaah pembuktian. Bahwa dengan jilbab yang menelungkupi  kepala, kemampuannya bekerja bisa melebihi orang-orang yang tidak  berjilbab.

Inilah yang dinamakan meritokrasi, bahwa penilaian seseorang  adalah berdasarkan performa, bukan kedekatan atau penampakannya saja.  (halaman 27).

Konsep  hidup Islam lainnya yang tercermin dari perilaku masyarakat Eropa juga  ditemukan Hanum saat ia mengunjungi Neerach, Swiss. Terdapat kedai bunga  hias di sana yang menerapkan prinsip kejujuran dan kepercayaan dengan cara menjajakan bunga dagangannya tanpa pedagang yang menunggui. Harganya  sendiri ditempel besar-besar di tiap tangkai bunga.

Orang yang ingin  membeli tinggal mengambil bunga yang dikehendaki, lalu memasukkan bunga  ke plastik yang sudah disediakan, selanjutnya membayar dengan cara  memasukkan uang ke dalam kaleng bekas di bagian dalam kedai.

Apabila  memerlukan kembalian, terdapat uang pecahan di kaleng yang lain. Sementara bila uang kembalian tidak tersedia, pembeli dapat menulis nama  dan alamat di buku notes yang digantung di dinding kedai. Pemilik kedai  akan mengantarkan uang kembalian ke rumah pembeli. (halaman 43).

Terdapat pula cerita pengalaman Tutie Amaliah saat bertemu dengan Sylvia, perempuan  Austria yang terampil melakonkan silat Harimau —pencak silat bernapas  islami asal Bukittinggi. Meskipun pandai bermain pencak silat, Sylvia terbilang santun dan tidak suka menguatamakan kekuatan fisik.

Ditambah  lagi ternyata Sylvia memiliki penilaian yang berseberangan dengan kebanyakan orang Eropa lainnya mengenai Islam, padahal ia tidak memeluk agama yang namanya kerap diplesetkan menjadi His-slam (pukulan-Nya) itu.

Kepada Tutie, Sylvia bercerita bahwa ia pernah tinggal berbulan-bulan di Minangkabau untuk belajar pencak silat pada seorang datuk. Bersama keluarga besar datuk, ia bisa menyaksikan betapa Islam benar-benar dapat  menjadi napas dalam kehidupan keseharian.

Sylvia melihat secara  langsung, sebagai saksi hidup, betapa napas Islam yang menjadi gaya hidup keseharian tidak menjadikan orang muslim sebagai umat yang  keras—seperti yang sering diopinikan pers Barat.

Sylvia berujar, “Tinggal berbulan-bulan di ranah Minang mempelajari pencak  silat menggeser pengertianku akan Islam yang majemuk. Aku tahu betapa  banyak orang muslim yang baik.” (halaman 109).

Di lain kesempatan, Tutie sempat melancong ke Rusia, menjumpai satu  bangunan megah berkubah biru di tengah kota St. Petersburg. Bangunan itu  semula adalah gudang senjata yang kemudian atas kelihaian diplomatik  Soekarno dapat beralih fungsi menjadi masjid.

Tanya,  seorang perempuan mualaf Rusia, menuturkan bahwa semua orang Rusia tahu  tentang Indonesia. Lebih-lebih warga penganut Islam yang selalu mengenang jasa Presiden Soekarno bagi Masjid Biru di St. Petersburg. (halaman 143).

Sedangkan  tulisan Wardatul Ula, lebih mengemukakan soal kegelisahan gadis-gadis  Eropa kenalannya akan arti hidup. Melalui rangkaian pencarian,  diskusi-diskusi panjang, dan pergumulan pemikiran, pada akhirnya  gadis-gadis itu mengucapkan dua kalimat syahadat dan berkenan mengenakan  jilbab.

Di samping memaparkan keterkaitan hubungan Islam-Eropa, buku yang dinobatkan sebagai best seller ini juga menguakkan sekelumit cerita muram menjadi orang uzur di benua  biru. Orang-orang yang telah berusia lanjut akan dikirim keluarganya ke  panti jompo. Kesibukan kerja membuat orang-orang merasa tidak punya  “waktu” untuk mengurusi orang tua yang pernah melahirkan dan mengasuh mereka. Mereka menganggap dengan memasukkan ke panti jompo, orang tuanya  akan lebih aman dan nyaman karena mendapat pengawasan dari para  perawat.

Oleh karena itulah, tidak sedikit orang jompo di Eropa yang  berubah cerewet, narsis, dan sedikit manja bila dicurahi sedikit saja  perhatian. Barangkali karena mereka kesepian dan haus akan pencurahan  kasih keluarga.

Selain  itu, masih terdapat pula cerita-cerita menarik lainnya. Selengkapnya  baca saja buku ini. Akan ada banyak pencerahan, keharuan, sekaligus  motivasi yang dapat diserap daripadanya. Dan pada akhirnya isi buku ini  dapat meneguhkan keyakinan kaum muslimin pada agama yang dianutnya. Insyaallah.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak