Islam dan Eropa. Dua kata yang rasanya sukar diasosiasikan. Di satu sisi, Islam kerap dituding sebagai agama barbar, terbelakang, mengajarkan kekerasan, dan anti-perubahan zaman.
Sementara di sisi lain, Eropa sangat diidentikkan sebagi sumber intelektualisme, karena berbagai penemuan dan pemikiran penting kebetulan muncul dan berkembang dari sana. Di samping itu, Eropa juga identik dengan agama Kristen; meski agama tersebut muncul dari Asia.
Pendek kata, Islam dan Eropa adalah dua hal yang berseberangan dan seolah mustahil untuk bersanding—apalagi bersatu. Barangkali, karena banyak negara Eropa yang tidak memberi ruang bagi Islam untuk berkembang. Para pemeluknya sendiri kerap diintimidasi lebih-lebih yang menampakkan identitas keislamannya lewat busana dan nama.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata Islam dan Eropa memiliki seutas benang penghubung. Hal inilah yang diungkap dalam buku traveling yang dilengkapi 44 ilustrasi foto pendukung ini.
Adalah Hanum Salsabiela Rais, Tutie Amaliah, dan Wardatul Ula. Ketiganya merupakan perempuan asli Indonesia yang berkesempatan tinggal di Eropa untuk mengenyam bangku kuliah.
Pengalaman bertahun-tahun tinggal di benua biru, termasuk bergaul dengan pola pikir dan sikap hidup masyarakatnya, menerbitkan kesadaran betapa dekat hubungan Islam dan Eropa.
Umpamanya saat Hanum berkesempatan mengenal Khoiriyah; perempuan Aceh yang biasa dipanggil Bunda Ikoy. Perempuan berjilbab ini adalah satu-satunya muslim yang bekerja di Swatch Group; sebuah perusahaan sekuler Swiss yang memproduksi banyak merk jam berkelas dunia seperti Calvin Klein.
Tentu saja tidak mudah mendapat pekerjaan berbobot di Eropa dengan jilbab menyelubungi kepala. Tapi Bunda Ikoy membuktikan bahwa permasalahan tak akan berkutat pada boleh-tidaknya menggunakan jilbab. Bagi perempuan yang menikah dengan Marco Kohler—mualaf asli Swiss—ini, intinya adalaah pembuktian. Bahwa dengan jilbab yang menelungkupi kepala, kemampuannya bekerja bisa melebihi orang-orang yang tidak berjilbab.
Inilah yang dinamakan meritokrasi, bahwa penilaian seseorang adalah berdasarkan performa, bukan kedekatan atau penampakannya saja. (halaman 27).
Konsep hidup Islam lainnya yang tercermin dari perilaku masyarakat Eropa juga ditemukan Hanum saat ia mengunjungi Neerach, Swiss. Terdapat kedai bunga hias di sana yang menerapkan prinsip kejujuran dan kepercayaan dengan cara menjajakan bunga dagangannya tanpa pedagang yang menunggui. Harganya sendiri ditempel besar-besar di tiap tangkai bunga.
Orang yang ingin membeli tinggal mengambil bunga yang dikehendaki, lalu memasukkan bunga ke plastik yang sudah disediakan, selanjutnya membayar dengan cara memasukkan uang ke dalam kaleng bekas di bagian dalam kedai.
Apabila memerlukan kembalian, terdapat uang pecahan di kaleng yang lain. Sementara bila uang kembalian tidak tersedia, pembeli dapat menulis nama dan alamat di buku notes yang digantung di dinding kedai. Pemilik kedai akan mengantarkan uang kembalian ke rumah pembeli. (halaman 43).
Terdapat pula cerita pengalaman Tutie Amaliah saat bertemu dengan Sylvia, perempuan Austria yang terampil melakonkan silat Harimau —pencak silat bernapas islami asal Bukittinggi. Meskipun pandai bermain pencak silat, Sylvia terbilang santun dan tidak suka menguatamakan kekuatan fisik.
Ditambah lagi ternyata Sylvia memiliki penilaian yang berseberangan dengan kebanyakan orang Eropa lainnya mengenai Islam, padahal ia tidak memeluk agama yang namanya kerap diplesetkan menjadi His-slam (pukulan-Nya) itu.
Kepada Tutie, Sylvia bercerita bahwa ia pernah tinggal berbulan-bulan di Minangkabau untuk belajar pencak silat pada seorang datuk. Bersama keluarga besar datuk, ia bisa menyaksikan betapa Islam benar-benar dapat menjadi napas dalam kehidupan keseharian.
Sylvia melihat secara langsung, sebagai saksi hidup, betapa napas Islam yang menjadi gaya hidup keseharian tidak menjadikan orang muslim sebagai umat yang keras—seperti yang sering diopinikan pers Barat.
Sylvia berujar, “Tinggal berbulan-bulan di ranah Minang mempelajari pencak silat menggeser pengertianku akan Islam yang majemuk. Aku tahu betapa banyak orang muslim yang baik.” (halaman 109).
Di lain kesempatan, Tutie sempat melancong ke Rusia, menjumpai satu bangunan megah berkubah biru di tengah kota St. Petersburg. Bangunan itu semula adalah gudang senjata yang kemudian atas kelihaian diplomatik Soekarno dapat beralih fungsi menjadi masjid.
Tanya, seorang perempuan mualaf Rusia, menuturkan bahwa semua orang Rusia tahu tentang Indonesia. Lebih-lebih warga penganut Islam yang selalu mengenang jasa Presiden Soekarno bagi Masjid Biru di St. Petersburg. (halaman 143).
Sedangkan tulisan Wardatul Ula, lebih mengemukakan soal kegelisahan gadis-gadis Eropa kenalannya akan arti hidup. Melalui rangkaian pencarian, diskusi-diskusi panjang, dan pergumulan pemikiran, pada akhirnya gadis-gadis itu mengucapkan dua kalimat syahadat dan berkenan mengenakan jilbab.
Di samping memaparkan keterkaitan hubungan Islam-Eropa, buku yang dinobatkan sebagai best seller ini juga menguakkan sekelumit cerita muram menjadi orang uzur di benua biru. Orang-orang yang telah berusia lanjut akan dikirim keluarganya ke panti jompo. Kesibukan kerja membuat orang-orang merasa tidak punya “waktu” untuk mengurusi orang tua yang pernah melahirkan dan mengasuh mereka. Mereka menganggap dengan memasukkan ke panti jompo, orang tuanya akan lebih aman dan nyaman karena mendapat pengawasan dari para perawat.
Oleh karena itulah, tidak sedikit orang jompo di Eropa yang berubah cerewet, narsis, dan sedikit manja bila dicurahi sedikit saja perhatian. Barangkali karena mereka kesepian dan haus akan pencurahan kasih keluarga.
Selain itu, masih terdapat pula cerita-cerita menarik lainnya. Selengkapnya baca saja buku ini. Akan ada banyak pencerahan, keharuan, sekaligus motivasi yang dapat diserap daripadanya. Dan pada akhirnya isi buku ini dapat meneguhkan keyakinan kaum muslimin pada agama yang dianutnya. Insyaallah.