Buku yang ditulis Rh. Widada yang berjudul "Guru Patriot, Biografi Ki Sarmidi Mangunsarkoro" berisi kisah dan hidup pahlawan bangsa yang satu ini. Ki Sarmidi Mangunsarkoro adalah salah satu tokoh pelopor pentingnya pendidikan di Indonesia bersama dengan Ki Hadjar Dewantara yang meletakkan dasar dan sendi-sendi pendidikan dengan spirit kebangsaan atau nasional. Beliau aktif dalam berbagai pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan dan mempunyai peranan penting sebelum dan setelah kemerdekaan.
Beliau dikenal sebagai sosok ayah yang sabar, mengajarkan kemandirian dan hidup sederhana. Kebiasaan beliau kebanyakan dihabiskan untuk membaca dan hampir kegiatannya dihabiskan untuk membaca buku. Ketika beliau menjadi guru di sekolah Tamansiswa beliau menjadi guru yang berkarakter, mampu menghargai murid, dan tidak pernah mendiskriminasikan bagi setiap murid-muridnya.
Sosok Ki Sarmidi Mangunsarkoro bukan hanya di dunia pendidikan, tetapi beliau juga aktif dalam dunia pergerakan salah satunya beliau aktif dan bahkan menjadi ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Yogyakarta. Beliau seorang politikus yang teguh dan pemberani serta menghargai lawan maupun kawan.
A. Masa Pendidikan Ki Sarmadi Mangunsarkoro
Ki Sarmidi Mangunsarkoro lahir pada tanggal 23 Mei 1904 di Desa Banyuanyar, Colomadu, Surakarta, Jawa Tengah. Beliau termasuk keturunan priyayi kecil dengan nama ayahnya adalah Rangga Mangunsarkoro. Nama Mangunsarkoro di zaman itu adalah pemberian dari Keraton Surakarta yang berkaitan dengan penguasa di suatu Desa.
Secara etimologinya Mangunsarkoro dipisah menjadi mangun berarti mengelola dan sarkoro berarti gula. Jadi, Mangunsarkoro adalah orang yang mengelola dan membangun wilayah penghasil gula. Kemudian nama Ki yang diperoleh beliau ketika ia aktif di Tamansiswa kelak. Keluarga Ki Sarmadi Mangunsarkoro yang tergolong priyayi mendapatkan kelebihan perhatian sosial dan ekonomi dari pemerintah dibandingkan dengan wong cilik atau rakyat kecil. Tetapi hal ini sangat mengusik pemikiran beliau dan tidak menyukainya karena ada perbedaan kemakmuran dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat.
Dari sikap anti penindasan yang dimiliki Ki Sarmidi Mangunsarkoro membuatnya lebih nyaman dekat dengan rakyat kecil dan tidak menutup mata terhadap realitas yang sifatnya menindas rakyat.
Kelahiran Ki Sarmadi Mangunsarkoro adalah era pemerintahan kolonial Belanda pada zaman etis. Zaman etis maksudnya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai bentuk Politik Balas Budi. Politik etis didasari sebagai utang kehormatan atas sistem yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda yakni sistem tanam paksa (cultur stelsel). Kebijakan ini lahir atas dasar intelektual Belanda sendiri, seperti Thomas Van de Venter, E. Douwes Dekker, Hinloopen Labberton, dan tokoh lainnya. Cara yang dilakukannya adalah menyelenggarakan program pendidikan, irigasi dan transmigrasi untuk penduduk bumi putra Hindia-Belanda.
Akhirnya banyak anak-anak, terutama dari golongan priyayi di negeri Hindia-Belanda merasakan dampak politik etis tersebut. Sarmidi salah satunya anak yang memperoleh keistimewaan untuk mengenyam pendidikan. Secara berturut-turut Sarmidi bersekolah dan belajar di Sekolah Angka Loro, Sekolah Teknik Princes Juliana School, Sekolah Guru Arjuna, kemudian Driejarige Normalcursus di Yogyakarta, dan kuliah sosiologi di Fakultas Hukum Jakarta.
1. Belajar di sekolah dasar Angka Loro
Sarmidi pertama masuk sekolah di Angka Loro pada usia 10 tahun pada 1914. Sekolah Angka Loro tepatnya berada di Sawahan, Surakarta. Pelajaran yang ada di Sekolah Angka Loro bisa dibilang sederhana dan tidak diajarkan bahasa Belanda, namun bahasa Jawalah yang menjadi pengantarnya.
Kemampuan pertama yang harus dimiliki siswanya adalah belajar membaca, menulis dan berhitung. Upaya pemerintahan kolonial Belanda mendirikan sekolah ini agar nantinya siswa yang lulus dapat bekerja kepada Belanda dengan gaji yang murah.
Seperti dalam banyak kasus harapan pemerintah Belanda akan ada pegawai yang didapatkan di sekolah tersebut namun tidaklah terpenuhi, justru terbalik salah satunya Sarmidi menjadi kelak menjadi tokoh pergerakan dan tidak pernah mengabdi sekalipun kepada pemerintah kolonial.
2. Si pemberani di Sekolah Teknik Princes Juliana School
Pada tahun 1923, di umur 19 tahun, Sarmidi belajar di Technische School (Sekolah Teknik) Princes Juliana School (ST-PJS) di Yogyakarta. Kini, sekolah tersebut Sekolah Teknik Menengah Jetis Yogyakarta dan kemudian SMK Negeri 2 Yogyakarta.
Di sekolah ini, Sarmidi mengambil jurusan teknik bangunan air, namun minat belajarnya tidak hanya terpaku pada bidang tersebut. Ia berminat pada masalah-masalah pendidikan dan psikologi. Sarmidi di sekolah tersebut dikenal sebagai siswa yang ramah dan pemberani, hal ini terbukti ketika keterlibatannya dalam kelompok Studi Islam (Islam Study Club) yang dipercayakan sebagai ketua.
Kemampuan berolah kata makin terasah ketia Sarmidi masuk di perkumpulan “Kridho Watjono” yaitu sebuah perkumpulan anak muda yang dalam kacamata Belanda adalah perkumpulan anak-anak bengal. Namun, disinilah muncul keberanian Sarmidi untuk menentang sikap pemuda Belanda yang ugal-ugalan terhadap anak bumi putra. Keberanian yang dimiliki Sarmidi tidak asal berani tetapi didasari dengan moral yang tepat.
Setelah lulus dari ST-PJS, Sarmidi menolak tawaran menjadi pengawas pembangunan yang menyandang diploma opzichter karena menurut beliau pekerjaan tersebut kurang menarik dan menjemukan. Akhirnya, Sarmidi melanjutkan belajar di Sekolah Guru dengan mempertaruhkan minat belajarnya di bidang ilmu psikologi dan pendidikan.
3. Penggemblengan diri di Sekolah Guru Arjuna
Pada tahun 1926, Sarmidi melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Arjuna di Jakarta. Dengan demikian, Sarmidi harus tinggal di Jakarta dan Pergerakan Nasionalnya pun semakin meluas. Sekolah Guru Arjuna merupakan salah satu sekolah yang didirikan oleh Perkumpulan Teosofi Hindia-Belanda untuk Pendidikan dan Pengajaran.
Saat berada Sarmidi di Sekolah Guru Arjuna, semangat kebangsaannya pun semakin menyala. Sebelumya pada tahun 1922 beliau telah masuk di perkumpulan pemuda Jong Java, bahkan memimpin majalahnya yang bernama Soera Afdeling Djogja.Hingga, pada tahun 1926 beliau terpilih sebagai ketua Jong Java.Di sekolah ini ia mendapatkan ilmu-ilmu psikologi dan pendidikan (pedagogi) dan mendalami berbagai ajaran, filsafat hidup, ilmu ketuhanan, etika, dan ilmu-ilmu pedoman kehidupan yang lain.
Dengan demikian, masa-masa di Sekolah Guru Arjuna boleh dikatakan masa penggemblengan Sarmidi sebagai seorang calon pendidik yang berperan besar dalam dunia pendidikan Indonesia. Setelah lulus dari Sekolah Guru Arjuna, beliau mengabdikan diri sebagai guru di Taman Muda Perguruan Tamansiswa dan bahkan menjadi pilar penting setelah Ki Hadjar Dewantara.
4. Mengikuti pendidikan keguruan tiga tahun di Dreijarige Normaalcursus Djogjakarta
Tahun 1928, Sarmidi menempuh pendidikan keguruan di Dreijarige Normaalcursus Djogjakarta. Mereka yang lulus di sekolah ini berhak mengajar di Eouropese Lagere Scool (ELS). Akan tetapi, Sarmidi gagal dalam ujian akhirnya karena dianggap bahasa Belandanya yang kurang.
Meskipun demikian, Sarmidi tetap menekuni minatnya di bidang pendidikan, dan bidang yang diutamakannya adalah psikologi, kependidikan dan ilmu filsafat.
5. Pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi
Dokumen yang mengungkapkan pendidikan Ki Sarmidi Mangunsarkoro di tingkat perguruan tinggi tidaklah banyak. Hanya disebutkan bahwa Sarmidi pernah mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum, Jakarta pada tahun 1932. Salah satu bukti-bukti yang meyakinkan bahwa Ki Sarmidi Mangunsarkoro mempunyai penguasaan di bidang sosiologi setelah terbit buku-bukunya pada tahun 1950-an. Beberapa diantaranya adalah Dasar Sosiologi oentoek Pendidikan Indonesia Merdeka (1947), Keboedajaan Rakjat (1950), Ilmoe Kemasjarakatan (1953), Ilmoe Adab dan Kemasjarakatan (1953), dan Dasar Keboedajaan Baroe.
B. Menjadi Guru di Zaman Pergerakan
1. Masuk di lingkungan Tamansiswa
Tamansiswa didirikan pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara dan teman-temannya. Pada saat berdiri, lembaga ini diberi nama National Onderwijs Institut Tamansiswa. Di lembaga inilah Sarmidi Mangunsarkoro mendapat tambahan gelar Ki di depan namanya.
Pendidikan Tamansiswa merupakan tempat yang paling tepat bagi Sarmidi. Sistem pendidikan yang diterapkan di Tamansiswa ini berdasarkan pada budaya Indonesia yang mengutamakan kepentingan rakyat dan mewujudkan manusia yang merdeka lahir dan batin.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro sebagai guru di Taman Muda Perguruan Tamansiswa berlangsung kira-kira selama tiga tahun. Setelah itu, ia pindah ke Jakarta.
2. Pernikahan sepasang anak muda pergerakan
Di Tamansiswa, Ki Sarmidi Mangunsarkoro telah menemukan seorang gadis yang menjadi jodohnya untuk berumahtangga, gadis itu bernama Sri Wulandari yang aktif sebagai pamong di Tamansiswa sejak 1924. Mereka adalah sepasang kekasih yang aktif di bidang pergerakan kebangsaan. Dan tidak mengherankan jika keduanya tetap kompak untuk menduduki peran masing-masing dalam pergerakan setelah berumahtangga.
Dari pernikahan tersebut mereka kelak dikarunia delapan orang anak, yaitu (1) sepasang anak kembar, tetapi meninggal dunia saat dilahirkan; (2) Nusawardhani Mangunsarkoro; (3) Dharmakirti Mangunsarkoro; (4) Artha Wardhani Mangunsarkoro; (5) Wiyata Wardani Mangunsarkoro; (6) Yudhastawa Mangunsarkoro; (7) Budhi Wardhani Mangunsarkoro.
3. Mendirikan Perguruan Tamansiswa Cabang Jakarta
Pada tahun 1929, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mendirikan sekolah Tamansiswa di Jakarta yang merupakan penggabungan dari HIS Budi Utomo dan Marsudi Rukun yang telah dipimpinnya pada tahun 1926.
Dalam mendirikan perguruan ini, Ki Sarmidi Mangunsarkoro bekerjasama dengan Moh. Husni Tamrin, seorang tokoh masyarakat betawi. Selanjutnya Moh. Husni Tamrin bertindak sebagai Ketua Majelis Cabang dan Ki Sarmidi Mangunsarkoro sebagai Ketua Majelis Perguruan.
Sekolah Tamansiswa cabang Jakarta memberikan dampak yang sangat baik terhadap masyarakat sekitar, anak-anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah Belanda karena tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dapat bersekolah di Perguruan Tamansiswa. Oleh sebab itu banyak aktivitas pergerakan yang terjadi. Gejala ini ternyata dipandang berbahaya bagi pemerintahan Hindia Belanda.
Maka, pemerintahan kolonial berupaya merintangi perguruan tersebut dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar dan pada tanggal 1 Oktober 1932 pemerintah kolonial menerbitkan aturan yaitu, (1) pendirian sekolah swasta harus meminta izin kepada pemerintah Hindia-Belanda; (2) sebelum mengajar guru sekolah swasta harus memiliki izin terlebih dahulu dari pemerintah. Tetapi dengan kegigihan untuk sehingga aturan tersebut dicabut.
Perguruan Tamansiswa cabang Jakarta berhenti kegiatannya pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 karena pemerintahan pendudukan Jepang melarang semua kegiatan dan perkumpulan kebangsaan pada saat itu.
4. Mendapat kepercayaan dari Ki Hadjar Dewantara
Pada tanggal 13 Agustus 1930, Ki Sarmadi Mangunsarkoro bersama enam Majelis Luhur mendapat kepercayaan untuk mewujudkan hidup dan penghidupan bangsa. Sebagai salah seorang terpilih, Ki Sarmidi Mangunsarkoro memajukan dan menggalakkan Tamansiswa yang berdasar pada cinta tanah air serta berjiwa nasional. Ki Sarmidi juga mendapatkan kepercayaan untuk mendirikan Taman Dewasa Raya (TDR, tingkat SMA) dan beliau dipercaya untuk memegang kepemimpinan.