Bulan Nararya: Kisah Tersembunyi dari Panti Rehabilitasi Mental

Hernawan | Thomas Utomo
Bulan Nararya: Kisah Tersembunyi dari Panti Rehabilitasi Mental
Bulan Nararya (Dokumentasi pribadi/ Thomas Utomo)

Naskah novel berketebalan 256 halaman ini, pernah didapuk menjadi Juara III Kompetisi Tulis Nusantara Tahun 2013, Kategori Novel. Lalu apa keistimewaan novel karya Sinta Yudisia ini?

Pertama, novel isi mengungkap sisi tersembunyi sekaligus tergelap para psikiater klinik kesehatan untuk pengidap skizofrenia. 

Adalah Nararya, perempuan, biasa dipanggil Rara, sehari-hari dia bergelut mengopeni orang-orang dengan deraan gangguan kejiwaan. Sehari-hari dia berjumpa dan mendengarkan keluh kesah klien dengan problematika pelik masing-masing.

Di satu sisi, Rara harus berlaku profesional. Kehadiran dan kiprahnya harus memberi jalan keluar bagi setiap permasalah kejiwaan klien. Dia dan rekan-rekannya dituntut menunjukkan performansi 'sempurna', pelayanan 'paripurna'. 

Di sisi lain, sama seperti orang-orang lain, hidup Rara tidak mulus. Di usia muda, dia bercerai dengan suami. Belum move on dari pahit manis masa lalu yang demikian menjerat, dia mendapati suaminya menjalin anyaman asmara dengan rekan sekantor, sahabat baiknya!

Dengan kondisi batin berdarah bahkan bernanah, bagaimana Rara dituntut perfek di hadapan klien maupun pasien penghuni klinik?!

"Aku pernah punya suami normal, karir kami masing-masing normal, tapi kehidupan kami nggak normal. Aku punya teman-teman yang normal, tapi hidup mereka juga nggak normal. Banyak pernikahan berisi sepasang manusia normal, tapi keseharian mereka abnormal. Saling melukai, tak membangun komunikasi, tak mencoba mencintai." (halaman 55).

Kedua, novel Bulan Nararya ini membongkar borok akibat fatal dari kesalahan pola asuh keluarga. 

Tersebutlah, Sania, gadis teramat muda yang mengidap skizofrenia. Akar penyebabnya, kekejaman perlakuan ayah kandung yang senantiasa melakukan kekerasan dalam rumah tangga, membuat kepribadiannya terbelah. Dia doyan ngamuk dan mencelakakan diri sendiri, pun membahayakan orang lain.

Lantaran faktor ekonomi (ketiadaan biaya) juga kekejaman ayah yang timbul-tenggelam, Sania dibuang ke klinik rehabilitasi mental.

"Lahir dengan berat badan kurang, tak pernah lengkap ASI, entah apa pula asupan makanan di tahun-tahun awal pertumbuhan. Jangankan bermain riang di usia dini, satu-satunya ajaran yang ditanamkan adalah kesalahan setimpal dengan pukulan." (halaman 12).

Ada pula, Yudhistira. Sebagai anak bungsu dan satu-satunnya laki-laki dari ibu single parent, dia adalah sosok yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh keluarga. Namun sekaligus dia selalu diatur dan dikendalikan ibu dan kakak-kakak perempuannya. 

Perempuan-perempuan di rumahnya adalah superior. Tough woman, superwoman, iron lady. Yudhis inferior. Tidak punya inisiatif, semua serba dipilihkan, disediakan. Keluarganya sendiri memang kalangan berharta dan suka menekan.

Kebiasaan serba dininabobokan, membuat mental Yudhis rontok di usia dewasa. Dia tidak mampu menghadapi, alih-alih mengatasi dinamika hidup yang selalu penuh onak serta gelombang.

Sama seperti Sania dan pasien lain, kondisi mental Yudhis, membuat keluarga membuangnya kendati diselubungi dalih guna merehabilitasi hingga sembuh.

"Betapa banyak keluarga dan masyarakat yang tak siap menampung penyandang skizofrenia kembali ke tengaj mereka. Membiarkan begitu saja sendiri dalam mental health atau panti rehabilitasi seumur hidup. Berapa pun biaya, asal tak mengotori marga keluarga." (halaman 52).

Ketiga, konflik yang kompleks dan cenderung rumit. Juga disertai bumbu-bumbu kisah mistis yang potensial membetot ketertarikan pembaca hingga ujung halaman terakhir.

Membaca novel Bulan Nararya adalah menyelami sisi tergelap relasi ayah-ibu-anak dalam institusi bernama keluarga. Betapa retak maupun pecah hubungan satu sama lain, cepat atau lambat, dapat merusak mental yang berdampak juga terhadap kerusakan di masyarakat.

Baca dan bersiaplah untuk terperangah, tercekat, tertohok, miris, ngilu, dan pedih. Namun bertolak dari itu semua, kita dapat menangguk hikmah, untuk tidak memunculkan bibit-bibit kepincangan relasi dan macetnya komunikasi dalam bahtera keluarga. Semoga.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak