Twenty-Four Eyes atau Dua Belas Pasang Mata merupakan buku karangan novelis asal Jepang bernama Sakae Tsuboi. Novel ini bercerita mengenai kehidupan seorang guru bernama Oishi. Sebagai guru muda, Bu Guru Oishi ditugaskan di sekolah cabang di desa nelayan miskin bernama desa tanjung karena letaknya di sebuah tanjung.
Walaupun kehidupan di desa itu sangat sulit, anak-anak desa tanjung sangatlah bersemangat menyambut kedatangan guru baru mereka. Apalagi Bu Guru Oishi datang menggunakan sepeda dan baju barat yang masih menjadi hal yang tidak biasa di desa itu.
Awalnya mengajar di desa tanjung terasa sulit dengan penolakan dari warga desa tanjung. Mereka membicarakan Bu Guru Oishi yang terlalu kebarat-baratan dan sepeda Bu Guru Oishi. Sepeda itu ia gunakan untuk menempuh perjalan delapan kilometer bolak-balik dari desanya hingga ke desa tanjung. Anak-anak yang diajar oleh Bu Guru Oishi sangat senang mengejar sepeda yang dikendarai olehnya.
Melihat perubahan anak-anak mereka yang diajar oleh Bu Guru Oishi, perlahan-lahan warga desa mulai membuka hatinya untuknya. Sayangnya, masa mengajar di desa tanjung tidak berlangsung lama karena Bu Guru mengalami kecelakaan saat mengajar kedua belas muridnya di pantai. Ia harus beristirahat cukup lama dan dipindahkan ke sekolah utama agar dekat dengan rumahnya.
Tahun-tahun berlalu, Bu Guru Oishi yang mengajar di sekolah utama kembali bertemu dengan anak didiknya yang mulai memasuki kelas lima di sekolah utama. Anak-anaknya masih diajar oleh Bu Guru Oishi dan masih bersemangat walaupun ada beberapa anak yang tidak melanjutkan sekolahnya. Salah satu sebab yang membuat anak-anak tidak melanjutkan sekolah adalah karena keadaan yang semakin sulit di tengah perang yang mulai berkecamuk.
BACA JUGA: Timnas Maroko Tetap Sujud Syukur Meski Kalah dari Prancis di Semifinal Piala Dunia 2022
Kehidupan Bu Guru Oishi juga turut terdampak. Bu Guru Oishi kehilang ibu dan anak perempuannya karena wabah mulai merajalela di tengah perang. Belum lagi suaminya yang gugur di medan perang menambah kesedihan Bu Guru Oishi. Kesedihan Bu Guru Oishi kian bertambah karena mendengar sebuah kabar berita. Satu-persatu murid laki-lakinya dipanggil untuk maju ke garis depan. Tak heran ia menjadi seseorang yang membenci perang.
Pemikiran-pemikiran bahwa perang harus usai dan kebenciannya terhadap pemerintah yang memanggil murid-muridnya, membuat ia dipandang tidak patriotis karena pada masa itu mereka yang pergi berperang dianggap sebagai pahlawan, Keluarga-keluarga yang ditinggalkan dianggap keluarga pahlawan dan bangga akan hal itu. Berbeda dengan Bu Guru Oishi yang menganggap perang itu menyia-nyiakan nyawa suami dan murid-muridnya.
Sepuluh Bab novel yang ditulis oleh Sakae Tsuboi berisikan gambaran yang terjadi ketika masa perang hingga berakhirnya perang. Uniknya sudut pandang yang diambil melalui kacamata seorang guru dan anak-anak yang masih polos. Sakae Tsuboi berhasil menggambarkan bahwa perang itu menjadi suatu kejadian yang traumatis bagi kebanyakan orang. Bahkan anak-anak yang masih polos itu juga terpengaruh oleh perang.
Alur cerita yang ditulis oleh Sakae Tsuboi berjalan lambat tetapi membuat kita paham maksud dari cerita yang dituliskan. Ia tidak ingin ada lagi perang. Keduabelas murid Bu Guru Oishi juga diceritakan dengan menarik. Setiap anak memiliki karakternya masing-masing. Novel yang ditulis pada tahun 1952 ini juga memiliki deskripsi tempat dan waktu yang cukup detail. Pembaca akan dibawa ke masa perang dunia II pada tahun 1945. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini juga pernah diangkat ke dalam layar lebar pada tahun 1954.
Video yang Mungkin Anda Suka.