Ulasan Nyanyian Akar Rumput: Kumpulan Puisi Wiji Thukul tentang Orang-orang Tertindas

Ayu Nabila | Rizky Melinda Sari
Ulasan Nyanyian Akar Rumput: Kumpulan Puisi Wiji Thukul tentang Orang-orang Tertindas
Cover buku Nyanyian Akar Rumput (goodreads)

Sebuah puisi mampu mewakili hati seseorang yang tidak dapat terucapkan. Berbagai peristiwa tragis dapat diubah menjadi sebait puisi sederhana dengan makna yang mendalam. Begitu pula dengan kumpulan puisi karya Wiji Thukul yang terangkum dalam ‘Nyanyian Akar Rumput’.

Identitas Buku

Judul Buku: Nyanyian Akar Rumput

Penulis: Wiji Thukul

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jumlah Halaman: 248 Halaman

Sekilas Tentang Penulis

Buku ini ditulis oleh seorang penyair bernama Wiji Thukul, yang keberadaannya hingga saat ini masih belum jelas. Ia merupakan seorang aktivis dan seniman rakyat yang berusaha menggambarkan kondisi kelas sosial tempat ia tumbuh melalui puisi-puisi ciptaannya.

Mei 1998, Wiji Thukul dinyatakan hilang. Mengutip salah satu perkataan pejuang HAM Indonesia, Munir Said Thalib, Wiji Thukul berusaha mengatakan bahwa kemiskinan bukanlah hadiah dan kekuasaan dari Tuhan, tetapi ada campur tangan kekuasaan politik dan modal.

BACA JUGA: Tiga Dalam Kayu: Karya Lain dari Ziggy yang Super Unik dan Tidak Terduga

“Sebagai aktivis dan seniman rakyat, Wiji Thukul memang dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya. Pilihan untuk kemudian bergabung bersama petani, buruh, dan kaum miskin lainnya dalam semangat yang semakin menguat, bahwa segala bentuk kemiskinan itu bukanlah semata-mata hadiah dari kekuasaan Tuhan, akan tetapi peluang dan kesempatan itu telah dilahap oleh kekuasaan politik dan modal,” ujar Munir Said Thalib, seorang pejuang HAM Indonesia.

Ulasan Buku

Buku yang berisi kumpulan puisi karya Wiji Thukul ini terdiri dari 8 bab utama dengan tema secara umum menggambarkan tentang para buruh dan kehidupan sosial menengah ke bawah. Setiap puisinya berusaha menyampaikan penderitaan yang dialami oleh rakyat akibat rezim dan kekuasaan yang semena-mena. 

Kedelapan bab tersebut adalah: Lingkungan Kita si Mulut Besar, Ketika Rakyat Pergi, Darman dan Lain-Lain, Puisi Pelo, Baju Loak Sobek Pundaknya, Yang Tersisih, dan Para Jenderal marah-Marah.

Potret perjuangan dan pantang menyerah untuk melawan para penindas tergambar dengan jelas dalam setiap puisinya. Benar-benar penuh semangat dan mampu menggugah sekaligus menyentuh hati para pembaca.

Tidak ada salahnya untuk sekali-sekali melirik dan mencoba memahami puisi perjuangan sejenis ini. Kaum muda zaman sekarang harus tahu sejarah kelam bangsanya dulu. Segala kenikmatan yang kita rasakan sekarang tidak serta-merta tersedia begitu saja.

Ada banyak rakyat dulunya yang bahkan untuk tidur memejamkan mata saja terasa berat karena memikirkan apa yang akan terjadi di hari esok.

Membaca buku bertema perjuangan dan perlawanan terhadap para penindas ini dapat menjadi salah satu pengingat agar kita senantiasa sadar dan tidak lupa diri untuk berterima kasih kepada para pejuang dulu, yang hingga sekarang mungkin masih tidak diketahui keberadaannya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak