Resensi Novela Asrama, Kepingan Ingatan tentang Asrama Tua

Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Resensi Novela Asrama, Kepingan Ingatan tentang Asrama Tua
Ilustrasi Novela Asrama (Dok. Ipusnas)

Novela Asrama merupakan karya dari Yoko Ogawa yang aslinya berjudul Dormitorii dan terdapat dalam buku yang merangkum tiga novela berjudul The Diving Pool (Picador, 2008). Novela terjemahan ini kemudian diterbitkan oleh Penerbit Basabasi (2021).

Kisah langsung dibuka dengan ingatan-ingatan dari tokoh 'aku' (seorang perempuan) tentang bangunan asrama yang pernah ditinggalinya saat masih menjadi mahasiswa. Memori yang kemudian ia analogikan sebagai bunyi atau suara.

Namun kenyataan bahwa aku mampu mengingat tempat itu begitu jelas enam tahun setelah pindah dari sana, tak diragukan lagi, lantaran bunyi itu muncul kembali begitu tiba-tiba. Aku bakal mendengarnya sesaat tiap kali pikiranku kembali pada asrama itu. (hlm 4)

Suatu hari si tokoh aku menerima telepon dari sepupunya yang akan kuliah di kota Tokyo. Sang sepupu meminta bantuan pada si tokoh perempuan untuk dicarikan tempat tinggal yang murah. Ia tahu kalau si tokoh utama pernah tinggal di asrama dari obrolan yang kerap muncul antara keluarga.

Kehidupan si tokoh aku yang membosankan––sendirian, jauh dari suami yang bekerja di Swedia––membuat tokoh utama kita ini merasa, bahwa permintaan sepupunya tersebut membuat ia jadi bisa keluar dari rutinitas hariannya.

Si tokoh perempuan kemudian menemui Kanrinin, pengelola asrama yang seorang penyandang disabilitas. Kanrinin tidak mempunyai tangan dan hanya berkaki satu karena kecelakaan yang pernah terjadi di masa lalu.

Asrama yang pernah ditinggali si tokoh aku ternyata sudah sangat berubah. Ia tinggallah bangunan tua yang telah lama ditinggalkan para penyewanya. Kesunyian yang menyelubungi asrama tersebut, bahkan seolah-olah telah merenggut segala ingatan si tokoh perempuan, perihal suara-suara yang dahulu kerap mengakrabinya.

Tak ada siswa satu pun yang tampak batang hidungnya, dan saat kami masuk lebih dalam, kesunyian kian menggumpal. Langkah kamilah satu-satunya suara, yang dengan segera teredam plester langit-langit yang rendah. (hlm 24)

Hal yang menarik dari novela ini, ketika sang penulis mengajak kita untuk lebih intim dengan para tokoh-tokohnya. Mencermati kehidupan mereka lebih dekat dan menangkap pesan yang tersirat dari setiap adegan.

Meskipun gerak cerita berjalan lambat, tapi para pembaca tak akan mati bosan karena keindahan bahasa yang diberikan. Begitu puitis. Membuat kita meresapi kata demi kata dan lebih memaknai cerita. Sebuah novela yang sangat patut diapresiasi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak