Film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes, tengah menghiasi bioskop seluruh Indonesia, tayang 15 November 2023 (tayang lebih awal di Indonesia) sebagai bagian (kelima) dari serial The Hunger Games.
Kendatipun begitu, ini adalah prekuel Film The Hunger Games. Masih disutradarai oleh Francis Lawrence, didistribusikan oleh Lionsgate, dan adaptasi dari novel Suzanne Collins.
Aku bersyukur banget bisa menjadi bagian dari penonton film ini. Ya, sejak merebaknya info terkait film ini dari Januari 2023, ini sudah sangat kunantikan! Aku semangat banget buat nonton film ini. Akan tetapi, penantian panjang itu harus ternodai oleh sesuatu yang sudah kuduga sejak sebelum menontonnya.
Dalam Film The Hunger Games, menceritakan masa muda Coriolanus Snow, sebelum menjadi presiden yang kejam dan diktator.
Mengambil setting 64 tahun sebelum The Hunger Games pertama (Karakter Katniss Everdeen belum lahir). Kisahnya menyoroti kehidupan Coriolanus Snow muda (Tom Blyth) yang tinggal di Capitol tetapi tengah berusaha keluar dari kemiskinan.
Snow, suatu ketika terpilih sebagai mentor di ajang pertandingan ‘Hunger Games’. Coriolanus Snow rupanya ditugaskan memandu Lucy Gray Baird (Rachel Zegler), untuk menjalani berbagai tahap, sebelum pertandingan hingga saat pertandingan.
Kedekatan mereka, lama-lama memunculkan perasaan yang membingungkan di tengah persiapan. Saat itulah, Snow dan Lucy menjalin kedekatan, di tengah situasi politik dan pertandingan Hunger Games, hingga suatu hari Snow dihadapkan pada sebuah pilihan dan tindakan yang akan mengubah hidupnya selama-lamanya.
Ulasan:
Dalam menikmati film prekuel "The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes", kompleksitas pengalaman terungkap seiring fokus pada karakter Snow dan peristiwa Hunger Games generasi sebelumnya.
Meskipun filmnya setia pada plot novel, keinginan akan sebuah improvisasi dan eksplorasi yang lebih berani di pertandingan Hunger Games nggak sepenuhnya terpenuhi. Ditambah dengan kekecewaan terkait minimnya aksi dan ketegangan di paruh akhir.
Drama batin Snow mendominasi narasi, membawa alur pada situasi yang terasa lambat dan membosankan. Pergulatan dari obsesi hingga tindakan tercela Snow menjadi fokus, hal demikian membuat ruang bagi ketegangan yang seharusnya membangun dari awal hingga akhir, justru terasa diabaikan.
Meski pendekatan ini mungkin diterima oleh pembaca novel, aku dan mungkin saja banyak penonton lain, juga ikut merasa kehilangan intensitas yang telah dibangun di babak awal.
Karakter Lucy Grey yang sering beryanyi, sementara dalam beberapa menit film terbilang menarik, tetapi karena keseringan nyanyi, jadi terasa berlebihan. Itu sangat mengurangi ketegangan yang ada.
Sang Sutradara, aku yakin banget, dia berusaha untuk tetap setia pada novel, karena dia juga dulu melakukan hal serupa. Dia jadi terkesan mengorbankan kebrutalan dan intensitas pertandingan Hunger Games. Seharusnya film ini bisa dibuat lebih entertaining pada penonton, baik pembaca maupun non pembaca novelnya.
Performa dua karakter utama sangat baik, meski akting Rachel Zegler, nggak begitu kuat mencuri perhatian. Aspek visual seperti cinematography, latar musik, tata rias, kostum, dan efek CGI ini cukup menjadi peran penting dalam menciptakan atmosfer yang sesuai dan memberikan dimensi visual yang memukau, dan itu teraplikasi dengan apik.
Film The Hunger Games, meski memiliki kekurangan mencolok, masih dapat diapresiasi secara subjektif. Skor 7/10, untuk aspek visual dan akting para pemeran utama mempertahankan daya tariknya.
Intinya, film ini tetap memberikan pengalaman sinematik yang patut ditonton. Bagi yang penasaran, rasakan sendiri sensasinya. Sampai jumpa di ulasan film selanjutnya!