Ulasan Buku Juragan Haji: Kumpulan Cerpen yang Ternyata Bukan tentang Haji

Hayuning Ratri Hapsari | Hafsah Azzahra
Ulasan Buku Juragan Haji: Kumpulan Cerpen yang Ternyata Bukan tentang Haji
Juragan Haji (Instagram/rrimm59)

Juragan Haji adalah buku karangan Helvy Tiana Rosa yang membuat saya tertipu. Awalnya, saya mengira buku terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2020 (Cetakan II) ini adalah novel. Namun ternyata, buku setebal 167 halaman ini adalah kumpulan cerpen.

Tidak berhenti sampai di situ, saya juga awalnya mengira Juragan Haji berisi kisah tentang orang yang melakukan perjalanan dan beribadah di tanah suci Mekkah. Namun saya lagi-lagi salah karena kumpulan cerpen ini adalah cerita bergenre sejarah yang isinya berbobot. 

Dalam karyanya ini, Helvy Tiana Rosa mengangkat isu sosial dan nilai agama di daerah konflik yang membuat saya cukup berpikir selama membacanya. Fenomena-fenomena yang diangkat pun adalah realita dan bukan fiksi.

Seperti misalnya, tsunami di Aceh, GAM, kerusuhan etnis beragama di Sulawesi, kasus Timor Timur, kerusuhan di Sampit, Israel - Palestina, kasus Suku Hutu-Tutsi di Afrika hingga pembantaian muslim Bosnia.

Selain karena tema dan genrenya, hal lain yang juga lebih membuat saya berpikir selama membaca adalah adanya bahasa daerah setempat dalam ceritanya.

Meski membuat alurnya semakin hidup, tapi saya harus bolak-balik melihat akhir bab untuk mengetahui arti dari dialog para tokohnya.

Hal ini sedikit menyusahkan dan saya rasa, buku ini tidak cocok bagi saya yang menyukai buku bacaan ringan dan bisa langsung dipahami sekali cerna. 

Meski begitu, bukan berarti Juragan Haji bukanlah buku yang baik. Justru sebaliknya, buku ini sangat bagus karena diramu sedemikian rupa dan membuat pembacanya seperti sungguhan berada di konflik pada masa itu. 

Seperti misalnya di bab satu. Kisah ini dimulai dari seorang perempuan idealis yang selalu mengkritik pemerintah dan GAM. Latarnya di Aceh ketika tsunami.

Kemudian ada juga cerita tentang konflik kemerdekaan Timor Timur di Indonesia. Penulis bahkan menyisipkan sejarah referendum kemerdekaan yang diadakan di Timor Timur pada 20 Agustus 1999. Bagi pencinta novel sejarah, mereka pasti akan menggilai buku ini. 

Lalu ada "Hingga Batu Bicara". Saya suka bagian ini karena mengangkat isu konflik antara Israel dan Palestina. Topik ini kembali ramai menjadi perhatian baru-baru ini.

Namun saya sempat ragu untuk lanjut membaca bab "Lorong Kematian" karena dari judulnya saja sudah menyeramkan. Bab ini bercerita tentang sejarah genosida Rwanda 1994, konflik antara Hutu dan Tuts yang menewaskan 800 ribu manusia.

Tertarik untuk membaca buku penuh informasi yang dikemas dalam fiksi ini?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak