Perempuan yang sudah tak muda lagi dan belum juga menikah, kerap menjadi bahan gunjingan di lingkungan masyarakat. Mereka akan dicap sebagai perawan tua, perempuan nggak laku, bahkan pada taraf tertentu akan dianggap sebagai aib bagi keluarga dan lingkungan.
Hal inilah yang agaknya menggerakkan hati Netty Virgiantini untuk mengangkat tema tersebut dalam novel Jodoh Terakhir, terbitan Gramedia Pustaka Utama (2010). Berikut adalah ulasan saya untuk novel ini.
Neyna sudah di ambang usia empat puluhan dan masih betah melajang. Orangtuanya, terutama Bapak, sudah berusaha mencarikan jodoh untuk Neyna, tapi gadis itu selalu punya segala macam cara untuk menolak para lelaki yang melamarnya.
Bapak yang mulai berang lalu mengultimatum Neyna. Ia harus menikah minggu depan atau keluar dari rumah dan tak bakal diakui lagi sebagai anak.
“Bagaimana kalau saya nggak mau?” tantang Neyna, masih berusaha ngotot.
“Harus mau. Kalau tidak, kamu boleh segera angkat kaki dari rumah ini!” (hlm. 26)
“Kalau kamu sudah melangkahkan kakimu untuk keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali lagi. Dan, kami juga bukan orangtuamu lagi!” (hlm. 27).
Bagi Neyna, diusir dari rumah bukanlah masalah. Ia bisa tidur di kios persewaan buku miliknya. Namun, tak diakui lagi sebagai anak merupakan hal yang berat baginya. Di saat itulah, Ibu membujuk Bapak agar memberikan waktu dua hari bagi Neyna untuk berpikir.
Neyna mencari bala bantuan dengan menghubungi Damar, sahabat tempat ia sering curhat sekaligus adik dari mantan kekasihnya zaman SMA, Deni. Tapi, kali ini Damar tidak lagi mendukung rencana Neyna untuk menggagalkan perjodohan. Lelaki itu juga terkesan menjaga jarak dari Neyna.
Di saat pikiran Neyna ruwet dengan paksaan menikah—dan ketidaktahuannya tentang jati diri lelaki yang sudah melamarnya pada orangtuanya—serta perubahan sikap Damar, Deni kembali mendekati Neyna. Padahal bagi Neyna, Deni hanyalah masa lalu. Bram-lah satu-satunya lelaki yang tak pernah bisa Neyna lupakan.
Membaca novel ini, saya jadi ikutan gemas. Stigma negatif yang melekat pada perempuan dewasa yang belum menikah, tampaknya sudah menjadi budaya di masyarakat kita. Masyarakat cenderung menghakimi dan label ‘perawan tua’ juga menjadi momok yang dianggap tabu.
Saya menyukai karakter Neyna di novel ini yang cenderung cuek dan tak ambil pusing omongan orang yang merecoki hidupnya. Ia digambarkan sebagai perempuan mandiri, keras kepala, dan sedikit kurang ajar. Sifat inilah yang seringkali membuatnya sering adu mulut dengan sang bapak, yang tak bisa diam begitu saja menanggapi omongan kanan-kiri.
Walaupun sejak bab-bab awal sudah ‘terlihat’ identitas lelaki misterius yang melamar Neyna, tapi novel ini masih sangat layak untuk dinikmati. Apalagi kepiawaian penulisnya dalam membangun konflik, yang telah berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca seperti saya.
Novel ini cukup mewakili para perempuan dewasa di luar sana yang masih belum menemukan jodohnya. Banyak pembelajaran yang bisa dipetik dari kisah Neyna, seperti dalam salah satu dialog yang diucapkan Neyna berikut ini:
“Meskipun di mata orang-orang kelakuanku sering dianggap keras kepala, aku tetap wanita normal yang suatu saat nanti juga pengin punya suami, anak, dan keluarga yang bahagia. Tapi aku memang tak mau terlalu ngoyo. Jalani dan nikmati saja hidup ini. Aku percaya Tuhan pasti sudah mempersiapkan jodoh bagi seluruh hambanya pada waktunya nanti.”