"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" membawa penonton ke dalam perjalanan cinta yang penuh warna sekaligus pahit secara bersamaan di Sumatera Barat pada tahun 1930-an.
Disutradarai oleh Sunil Soraya dan diproduksi oleh Soraya Intercine Films, film ini menjadi nggak hanya sebuah pencapaian signifikan dalam perfilman Indonesia tetapi juga suatu gambaran yang mendalam tentang kultur, perkembangan zaman, dan juga cinta.
Dengan Pevita Pearce, Herjunot Ali, dan Reza Rahadian, trio bintang ini berhasil membawa kehidupan pada karakter-karakter yang terlibat dalam konflik cinta yang rumit.
"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" berpusat pada Hayati (diperankan oleh Pevita Pearce), perempuan muda yang berasal dari keluarga berpengaruh di Minangkabau (bisa dikatakan sebagai keturunan bangsawan) Hayati jatuh cinta pada Zainuddin (diperankan oleh Herjunot Ali), seorang pemuda yang berasal dari keluarga ‘ekonomi rendah’.
Meskipun Zainuddin dan Hayati saling mencintai, tetapi asal-usul orang tua Zainudin, norma sosial dan tekanan keluarga, membuat cinta mereka terhalang untuk bersatu. Hayati akhirnya dijodohkan dengan Aziz (diperankan oleh Reza Rahadian), seorang pemuda kaya yang dianggap lebih cocok.
Namun, pernikahan Hayati dan Aziz nggak membawa kebahagiaan. Mereka harus menghadapi konflik internal dan eksternal yang menguji kesetiaan dan cinta.
Dalam statusnya sebagai istri orang lain, Hayati kembali berjumpa dengan Zainudin yang sudah sukses. Cinta yang terkubur kembali tumbuh.
Akan tetapi, suatu ketika, sepeninggal kematian Aziz, Hayati nggak hanya dirundung kesedihan atas kematian suaminya, tetapi dia juga harus kecewa atas penolakan Zainudin untuk kembali merajut tali kasih dengannya. Cinta Hayati dan Zainudin pada akhirnya benar-benar tenggelam dalam tragedi Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Review Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Versi terbaru yang pada kala itu juga rilis di bioskop, punya durasi kisaran 3 jam 20 menitan, dan diberi tajuk: "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck Extended".
Nggak hanya menambah durasi tetapi juga memperluas pandangan penonton terhadap kompleks konfliknya. Dengan durasi yang lebih panjang, film ini menjelajahi latar belakang karakter lebih dalam.
Dalam konteks kultur pada tahun kisahnya berjalan, penceritaan ini menyoroti transisi perubahan sosial dan budaya yang dihadapi masyarakat Sumatera Barat.
Dengan penuh ketelitian, film berhasil menyampaikan pesan terkait tuntutan norma sosial, dan ketegangan antara mempertahankan tradisi atau mengabaikannya sebagai bentuk modernitas (khususnya pada scene tiap-tiap pertentangan hubungan Zainudin dan Hayati).
Situasi lingkungan yang digambarkan dalam film juga menambah tekanan pada kisah asmara. Kolonialisme, yang diperlihatkan, terkait adanya orang-orang dari bangsa Eropa di dalam filmnya, juga memberikan latar belakang konflik sosial, yang juga ‘sebenarnya’ berpengaruh dalam pola pikir tiap-tiap karakter.
Nilai-nilai tradisional dan norma sosial tradisional, agaknya bertabrakan dengan budaya Barat yang masuk, itu tercermin dalam karakter Aziz dan sepupunya bernama Nurul, yang mana Nurul adalah sahabat Hayati.
Tema kesetiaan dan cinta yang kandas menjadi inti perjalanan emosional karakter. Penonton diajak untuk merenung tentang esensi cinta dan konsekuensi dari pilihannya, dan bagaimana karakter-karakter utama harus menghadapi pertarungan batin.
Jadi menurutku, "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" bukan sekadar kisah cinta yang menggugah hati, tetapi juga sebuah cermin yang memantulkan perubahan masyarakat dan lingkungan pada masa itu.
Film ini menjadi sebuah mahakarya sinematik yang melibatkan penonton dalam keindahan dan kepedihan perjalanan cinta yang mengharukan.
Apakah kamu belum menontonnya? Kamu bisa menyaksikan film ini di Netflix, tetapi untuk versi biasa, ya, bukan versi Extended. Selamat menonton, ya!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS