Review Film The Holdovers, Eksplorasi Sentimental yang Menyentuh Hati

Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Review Film The Holdovers, Eksplorasi Sentimental yang Menyentuh Hati
Film The Holdovers (IMDb)

Alexander Payne kembali memukau dengan karya terbarunya, "The Holdovers", yang sudah rilis di bioskop-bioskop Indonesia sejak 23 Februari 2024. Dengan bintang seperti Paul Giamatti, Dominic Sessa, dan Da’Vine Joy Randolph, Payne menghadirkan kisah ‘bittersweet’ yang memukau.

Dalam cerita ini, Paul Giamatti berperan sebagai Paul Hunham, seorang guru yang nggak populer dengan kepribadian keras.

Bersama dengan Angus (Dominic Sessa), seorang siswa cerdas juga kritis, dan Mary (Da’Vine Joy Randolph), kepala dapur sekolah yang baru kehilangan anaknya. Mereka terjebak bersama selama liburan musim dingin di sebuah akademi elit di New England.

Review Film The Holdovers

Kisah ini berlangsung pada akhir 1970 dan awal 1971. Desain yang kental dengan nuansa retro dan logo produksi vintage di pembukaan film menambahkan sentuhan autentik. Skrip tajam David Hemingson memadukan dialog yang menjadi masterclass dalam menangkap suara karakter.

"The Holdovers" menawarkan lebih dari sekadar kisah liburan. Film ini merayakan sentuhan nostalgis sinema Amerika tahun 1970-an, dengan lapisan luar suasana Natal yang didukung oleh salju dan paduan suara ‘a capella’. Di balik lapisan humornya yang melankolis, terdapat keasaman yang menyegarkan, yang cenderung sentimentalitas sesaat.

Jadi begini, suara ‘a capella’ adalah musik yang hanya dengan vokal tanpa didukung oleh instrumen musik. Dalam konteks film "The Holdovers," menyebutnya "a capella school-choir carols". Maksudnya bahwa, dalam adegan-adegan tertentu film ini, lagu-lagu, seperti lagu Natal, dinyanyikan hanya dengan suara vokal tanpa bantuan instrumen musik.

Payne, sutradara yang tampaknya memahami kerangka kekecewaan, sehingga dia bisa menciptakan karakter-karakter yang hidup dalam dunianya, detail kecil menyatu dalam paduan suara.

Penting untuk melihat lebih dari sekadar dialog tajam yang membangun karakter. Paul, dengan repertoar yang nggak terbatas kata makian untuk siswanya, merupakan sosok yang membangun batasan dari buku dan sindiran pedas hanya untuk berlindung.

Angus, yang sudah meratapi kehilangan ayahnya, terluka oleh pembatalan liburan yang dijanjikan ibunya. Sementara itu, Mary, diperankan dengan brilian oleh Randolph, menghadapi kehilangan yang paling dalam.

Mary menjadi titik fokus perasaan kehilangan. Dia hanya menerima pekerjaan memasak di sekolah elit itu agar anaknya bisa masuk.

Namun, saat teman-teman sekelasnya melanjutkan ke universitas, anaknya terpaksa bertugas di tentara dan tewas di Vietnam. Setiap hari di tempat kerja adalah pengingat pahit, dan Natal tanpa anaknya membuatnya terpaku dalam kesedihan.

"The Holdovers" harus kuakui telah menghadirkan momen-momen menyentuh tanpa banyak kata-kata, seperti adegan Mary yang melipat pakaian bayi. Ini bukan hanya menggambarkan keberatan kehilangan yang dia bawa, tetapi juga memberikan sentuhan harapan. Payne, melalui film ini, berhasil menggali kedalaman kekecewaan sambil memberikan sinar harapan.

Dengan kualitas ini, "The Holdovers" bukan hanya sebuah film Natal; ini adalah film yang merangkai kekecewaan dan kehangatan dalam sebuah cerita yang menggugah perasaan.

Sebuah pengalaman sinematik yang memanjakan penonton dan memberikan pemahaman mendalam tentang kemanusiaan di tengah-tengah kekecewaan hidup. Skor dariku: 8/10. Selamat menonton, ya!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak