Lewat buku "Sang Guru" ini, pembaca diajak menyelami kisah hidup masa kecil, masa belajar, hingga masa tua dan akhir hayat dari para kiai fenomenal yang menjadi guru ulama Nusantara.
Para guru yang dimaksud antara lain Kiai Saleh Darat, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai As'ad Syamsul Arifin, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ridwan Abdullah, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Ihsan Jampes Kediri, Kiai Dalhar Watucongol, dan lain sebagainya.
Sejibun hikmah dan pelajaran hidup yang patut ditiru oleh pembaca setelah menghatamkan buku ini. Seperti kebiasaan Kiai Dalhar Watucongol yang gemar melakukan tirakat. Selama belajar di tanah suci, Kiai Dalhar pernah melakukan tirakat di gua yang sangat sempit selama 3 tahun.
Selama itu pula, beliau berpuasa dengan berbuka hanya dengan memakan 3 buah kurma dan minum air zamzam secukupnya. Selain itu, beliau juga pernah melakukan tirakat khusus untuk mendoakan keturunan dan para santrinya.
Berkat laku tirakatnya tersebut, santri-santri yang pernah belajar kepada beliau menjadi ulama kharismatik. Sebut saja Gus Miek, Kiai Mahrus Lirboyo, Kiai Marzuki Giriloyo, Kiai Dimyathi Banten, dan banyak lainnya.
Dari kisah Kiai Dalhar ini, kita pahami bahwa untuk mendapat sesuatu yang diinginkan perlu pengorbanan yang luar biasa. Hanya demi mendoakan anak-anak dan para santri agar menjadi orang salih di kemudian hari, beliau rela menyepi di gua sempit selama 3 tahun.
Berbeda dari kebiasaan Kiai Ihsan Jampes pengarang kitab Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan yang membahas tentang minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam. Kebiasaan beliau adalah gemar bermain wayang dan pandai mendalang. Di mana ada pertunjukan wayang, beliau mendatanginya.
Beliau sangat mudah memahami karakter-karakter wayang, saking pahamnya beliau sampai berdebat dengan dalang yang melenceng dari cerita sebenarnya. Dari kegemaran beliau ini, Kiai Ihsan begitu mudah memahami karakter-karakter manusia.
Sementara Kiai Saleh Darat beda lagi. Guru dari Syekh Mahfudz at-Turmusi, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Dalhar Watucongol ini suka sekali terhadap bahasa Jawa. Saking sukanya, hampir karya tulis beliau ditulis menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab-Jawa atau yang lebih dikenal dengan Arab Pegon.
Banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik dari membaca buku ini. Terutama mengenai perjuangan selama mengembara mencari ilmu. Membaca buku ini, kita tahu bahwa mencari ilmu itu tidak bisa hanya bermodal bimsalabim langsung pandai dan mahir. Namun, banyak aral yang perlu dilalui, dan butuh kesabaran yang kuat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS