Review Novel Jepang 'Twenty Four Eyes', Kisah Guru dan Murid Mengharu biru

Hernawan | Sarah Aisyah
Review Novel Jepang 'Twenty Four Eyes', Kisah Guru dan Murid Mengharu biru
Cover buku Twenty Four Eyes (gramedia)

Apakah kamu punya guru favorit semasa sekolah? Atau apakah kamu punya guru yang sangat dekat dengan para murid-muridnya? Nah, cobain yuk baca buku "Twenty Four Eyes" atau disebut juga "Dua Belas Pasang Mata" untuk melihat lebih dalam kedekatan antar guru-murid. 

Ulasan:

"Twenty Four Eyes" merupakan novel terjemahan dari Jepang dengan judul "Nijushi No Hitomi" yang menggunakan latar sebelum dan pasca Perang Dunia II. Novel ini diterbitkan pada tahun 1952 dan seketika menjadi best seller. Lalu, novel ini pun pernah difilmkan oleh sutradara Keisuke Kinoshita. 

Novel "Twenty Four Eyes" menceritakan tentang kisah seorang guru baru bernama Hisaki Oishi yang dipanggil Bu Guru Oishi. Beliau ditugaskan untuk mengajar di sebuah desa Tanjung, sebuah desa nelayan yang sederhana di Laut Seto. Di desa tersebut, Bu Guru Oishi akan mengajar anak-anak SD berjumlah 12 orang. 

Dengan mengajar, Bu Guru Oishi belajar memahami kehidupan para anak didiknya dengan menunjukan rasa kasih sayang yang tulus kepada mereka. Ada 12 siswa yang menjadi kelas pertama Miss Oishi, meskipun awalnya tidak akrab namun mereka menjadi anak murid favorit Miss Oishi, begitupun sebaliknya.

Namun, tahun-tahun yang manis itu berubah karena Perang Dunia II yang memporakporandakan semuanya, sehingga anak-anak didik dan Miss Oishi pun harus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Lalu bagaimana akhirnya? Kamu harus baca untuk kelanjutan kisah mereka, ya. 

Lewat kisah Miss Oishi dan kedua belas muridnya, saya belajar banyak tentang arti ketulusan, persahabatan, penghormatan, dan lainnya. Saya terharu melihat Miss Oishi bersama murid-muridnya yang unik-unik, mereka berbagi mimpi, dan saling peduli satu sama lain. 

Selain itu, kita akan melihat pertumbuhan anak-anak didik Miss Oishi hingga mereka dewasa dan juga Miss Oishi dari gadis hingga menua. Karena novel ini termasuk novel anti perang, maka proses perangnya tidak diceritakan mendetail namun kita akan melihat bagaimana Jepang setelah perang berlangsung.

Emosi Miss Oishi yang diceritakan dalam novel seolah menjadi kesedihan juga yang dirasakan pula oleh orang-orang di sana. 

Mengambil latar 1928-an hingga Perang Dunia II usai, kita akan merasakan di awal cerita penuh dengan bumbu pemanis, hingga menuju akhir menjadi kelabu. Kita seolah merasakan hasil dari perang yang menghancurkan segalanya, bukan hanya lingkungan melainkan mimpi anak-anak pula. 

Topik yang dibahas selain tentang perang, melainkan ada topik tentang perempuan, betapa sulitnya hidup sebagai perempuan di era zaman dulu, lho.

Kemudian menurut saya, gaya penulisnya emang agak lambat, khas novel fiksi Jepang. Namun semakin dibaca, kita jadi lebih memahami peran dan perasaan setiap tokohnya. Lalu, meskipun murid Miss Oishi hanya 12 orang, tetapi agak susah untuk mengingat nama anak-anaknya. Ada juga kesalah ketik, namun hal tersebut tidak terlalu mengganggu. 

Meski begitu, ceritanya tetap ringan dan sangat direkomendasikan untuk kamu yang pengen lihat Pov seorang guru dalam memandang anak murid dan dunia. Yuk, buruan baca!

Identitas Buku;

  • Penulis: Sakae Tsuboil
  • Halaman: 248 hlm
  • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
  • Genre: Fiksi
  • Cetakan kesebelas: Desember 2022

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak