Puisi-Puisi yang Penuh Kedalaman Makna dalam 'Sepotong Hati di Angkringan'

Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Puisi-Puisi yang Penuh Kedalaman Makna dalam 'Sepotong Hati di Angkringan'
Cover buku Sepotong Hati di Angkringan (Dok. Pribadi/Rie Kusuma)

Sebelumnya, izinkan saya untuk mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Philipus Joko Pinurbo pada hari Sabtu, 27 April 2024 dalam usia 61 tahun. Beliau meninggal hanya selang sehari sebelum Hari Puisi Nasional 28 April.

Buku Sepotong Hati di Angkringan karya Joko Pinurbo atau lebih akrab disapa Jokpin, diterbitkan pertama kali oleh penerbit DIVA Press pada bulan Mei 2022. Tepat di bulan kelahirannya, sekaligus buku ini menandai usia beliau yang genap 60 tahun, seperti yang tercantum di sudut kiri atas sampul buku.

Buku kumpulan puisi setebal 95 halaman ini secara komposisi terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama, Sepotong Hati di Angkringan terdiri atas 33 puisi berlanskap kota Yogyakarta dan menghadirkan hal-hal yang lekat dengan kota tersebut.

Bagian kedua, Ibadah Mandi, terdiri atas 29 puisi yang banyak bercerita tentang wabah Corona (Covid 19). Karya-karya puisi yang saya percaya sebagai hasil dari kepekaan beliau, dalam mencermati pandemi yang pernah melanda Indonesia.

Seperti umumnya karya-karya puisi Jokpin yang lekat dengan humor menggelitik berbalut satir, tapi sekaligus memiliki kedalaman dengan pilihan diksi yang sederhana, demikian pula yang akan kita jumpai dalam buku ini. Seperti puisi dari Bagian Pertama, halaman 36, berikut ini.

Pesan Pemilik Pohon Durian Kepada Orang yang Suka Menunggu Durian Runtuh

Durian tak akan jatuh kepada orang

yang menunggu durian runtuh. 

Puisi yang hanya terdiri atas dua larik tersebut sekilas tampak main-main. Namun, jika kita cermati lebih lanjut memiliki kedalaman pesan yang disampaikan sang penyair dalam puisinya tersebut.

Dari judul puisi tadi, dapat kita analogikan bahwa ‘pemilik pohon durian’ adalah Tuhan. Sedangkan ‘orang yang menunggu durian runtuh’ adalah manusia, makhluk ciptaan Tuhan. ‘Durian runtuh’ sendiri saya artikan sebagai nasib atau hal-hal baik.

Puisi tersebut seolah menyindir orang-orang yang berharap kehidupannya (nasib) berubah menjadi lebih baik, tapi tak diiringi dengan usaha dan kerja keras. Mereka hanya menunggu nasib baik itu datang ‘menimpa’ mereka.

Puisi ini menjadi menggelitik sekaligus menampar diri saya, selaku pembaca, di saat bersamaan. Betapa kita, manusia, memang kerap kali berharap akan adanya perbaikan nasib, tapi menjadikannya sekadar angan-angan tanpa berusaha mewujudkannya. Seperti menunggu durian runtuh.

Puisi berikutnya, sekaligus yang menjadi judul buku ini terasa sangat istimewa. Berikut petikan Sepotong Hati di Angkringan (hal 23).

Pada suatu malam yang nyamnyam

kau menemukan sepotong hati yang lezat

dalam sebungkus nasi kucing. Kau mengira

itu hati ibumu atau hati kekasihmu. Namun,

bisa saja itu hati orang yang pernah kausakiti

atau menyakitimu. Angkringan adalah nama

sebuah sunyi, tempat kau melerai hati,

lebih-lebih saat hatimu disakiti sepi.

Di awal larik menyebutkan ‘malam yang nyamnyam’. Pilihan diksi yang unik untuk menggambarkan suatu malam yang bahagia, ‘lezat’, malam yang menyenangkan dan tersaji di hadapan. Digambarkan dengan nasi kucing dengan lauk sepotong hati.

Namun, ‘hati’ di sini juga bermakna perasaan. Dalam larik berikutnya pembaca dapat merasakan kerinduan si penikmat nasi kucing tadi pada ibunya, pada kekasihnya. Ingatan-ingatannya bahkan mengembara pada seseorang yang mungkin pernah disakiti atau menyakiti si tokoh dalam puisi.

Lalu larik berikutnya yang menyebut ‘angkringan’, yang erat dengan kota Yogyakarta. Hal yang memberi pemahaman pada saya bahwa sang tokoh dalam puisi berada di perantauan dan tengah merindukan orang-orang, terutama ibu, yang ada di kota lain.

Kerinduan yang menimbulkan sunyi sampai hati disakiti sepi, seperti pada larik berikutnya. Bahkan kesunyian itu hadir di keramaian, di sebuah angkringan. Sebuah sunyi yang hadir karena sebentuk kerinduan.

Pada Bagian Kedua, Ibadah Mandi, penyair kesayangan kita kembali menyuguhkan humor parodi berbalut satir. Dengan bahasa sederhana dan jenaka, Jokpin menyoal tragedi pandemi dan hal-hal mengenai problematika rakyat kecil yang begitu jeli dicermati oleh seorang Jokpin. Seperti petikan puisi Sinau berikut yang ada di halaman 72.

Masa pandemi lanjut.

Sepi dikunci supaya tidak ada

yang lalu-lalang dan berisik.


Rumah telah menjelma

menjadi kantor, sekolah,

tempat piknik, rumah sakit,

tempat ibadah, dan pusat

perputaran nasib

yang berubah-ubah.

Dari dua bait puisi ini saja, ingatan saya dikembalikan ke masa-masa pandemi yang meresahkan. Saat tak banyak hal yang bisa kita lakukan di luar rumah.

Segala hal dikerjakan dari rumah, seperti yang tergambarkan di bait kedua. Memberikan kesempatan kepada kita untuk sinau, belajar. Terutama belajar beradaptasi dengan pandemi dan menerima keadaan yang membuat kita seolah terkunci dari dunia luar.

Masih banyak puisi-puisi dalam buku ini yang menggetarkan hati saya. Puisi-puisi yang penuh kedalaman makna. Betapa tak diragukan lagi kemampuan seorang Joko Pinurbo meracik kata-kata dengan sederhana, tapi mampu menohok pembacanya.

Selamat jalan, Pak Joko Pinurbo. Saya berbahagia telah menjadi salah satu orang yang mencintai karya-karyamu. Terima kasih untuk semua puisimu yang menginspirasi. Rest in Love, Pak. Rest in Poetry. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak