Karakter Hilmi Faiq dalam menggarap cerpen berada di tengah-tengah antara Ahmad Tohari dan Putu Wijaya. Meski ketiganya senantiasa berangkat dari realitas buram di sekitar kita, namun mereka menempuh perjalanan dengan tujuan yang berbeda.
Jika Ahmad Tohari memotret sisi-sisi gelap hidup orang-orang kecil dengan kisah yang nyaris tak terpindai mata biasa, maka Putu Wijaya selalu meledak dengan heroisme yang membuncah.
Jika Ahmad Tohari mengakhiri kisah-kisahnya dengan menyodorkan pesan moralitas yang berserakan di sekitar kita, maka Putu Wijaya justru balik meneror dan membeberkan pertanyaan yang terkadang absurd.
Ahmad Tohari, Putu Wijaya dan Hilmi Faiq adalah para jurnalis yang bekerja atau pernah bekerja di media-media besar Tanah Air. Sebagai sesama jurnalis dan penulis, Hilmi seakan banyak punya kesempatan untuk mempelajari realitas bebas yang belum dijajal oleh dua pengarang sebelumnya.
Dalam buku kumpulan cerpen Pemburu Anak, Hilmi memotret hidup yang buram, seperti pada judul cerpen pertama; Pemburu Anak.
Pada cerpen ini, Hilmi Faiq membuka cerita dengan paragraf yang "menendang" atau "menggigit".
Anak sulungku, Ragat, harus mati. Ini dilema luar biasa yang aku alami. Siapa gerangan yang sanggup membunuh anak sendiri. Namun, jika dia kubiarkan tumbuh dewasa, aku tak adil kepada anak-anak lain yang telah kubunuh. Sebab, anakku juga membahayakan dunia.
Tokoh aku menjadi begitu beringas dan yakin membunuh hingga seratus dua puluh tujuh anak, termasuk anak-anaknya sendiri, usai ia terlelap di atas bangku tunggu kereta di sebuah stasiun kereta api.
Dalam tidurnya ia didatangi Bagus Burhan keturunan Rara Mumpuni. Rara Mumpuni merupakan anak bungsu Raden Ngabehi Ranggawarsita. Kita kenal Ranggawarsita adalah pujangga kenamaan yang mempunyai winarah, visi atau teropong masa depan.
Sebelum Ranggawarsita berguru dan berkelana untuk menemukan jati dirinya, ia memakai nama Bagus Burhan. Nama inilah yang mengejutkan si aku, sebab Bagus Burhan mengaku bahwa ia adalah kakeknya.
Sejak mimpi bertemu dengan Bagus Burhan di stasiun itu, tokoh aku setiap bertemu anak kecil, terlihat jelas masa depannya. Terdapat tanda pada masing-masing bocah.
Saat membunuh Roby, bocah usia tujuh tahun di Pantai Cermin, Deli Serdang, ia melihat cahaya di dahi anak tersebut merah menyala dan badannya dikelilingi citra astral berbulu lebat, yang berarti kelak saat dewasa, ia akan lebih banyak membawa petaka.
"Lebih baik dia mati sekarang, karena itu sama dengan kamu menyelamatkan dia dan dunia. Jika Roby tumbuh dewasa, akan lebih banyak yang sengsara. Ini berat, tapi harus dilakukan," bisik Bagus Burhan padanya, antara mimpi dan nyata.
Dorongan bisikan seperti inilah yang membuat sosok aku terbiasa membunuh anak-anak. Ringan dan tanpa dosa membunuh mereka seperti menyembelih ayam. Hingga tepat tiga tahun setelah mimpi di stasiun itu, sudah seratus dua puluh tujuh anak yang ia bunuh.
Identitas Buku
Judul: Pemburu Anak
Penulis: Hilmi Faiq
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan: I, Mei 2021
Tebal: 166 halaman
ISBN: 978-602-481-582-0
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS