The Watchers adalah film horor fantasi yang disutradarai oleh sineas debutan Ishana Night Shyamalan, putri dari sineas terkenal M. Night Shyamalan. Ishana sebelumnya turut serta dalam produksi film Old dan Knock at the Cabin. Sang ayah turut berperan sebagai produser dalam film ini.
The Watchers yang ditulis oleh Ishana diambil dari novel berjudul sama karya A.M. Shine. Film ini menampilkan Dakota Fanning, Georgina Campbell, Olwen Fouere, dan Oliver Finnegan sebagai pemeran utama.
Petualangan Mina di Irlandia
Seorang gadis asal AS, Mina (Fanning), bekerja di sebuah petshop di kota kecil di Irlandia untuk melupakan trauma masa lalunya. Suatu hari, ia diberi tugas oleh bosnya untuk mengantar seekor burung beo ke daerah terpencil di tengah hutan.
Sesampainya di sana, Mina tersesat di hutan dan diselamatkan oleh tiga orang misterius yang tinggal di sebuah bangunan tak lazim.
Mereka menyatakan bahwa sekelompok makhluk yang disebut "The Watchers" selalu mengawasi dari luar bangunan dan akan membunuh jika aturan dilanggar.
Mina yang merasa terjebak berusaha melarikan diri, namun ia menyaksikan sendiri sesosok monster yang mengerikan.
Gaya Sinematik Ishana
Jika kamu sudah familiar dengan film-film M. Night Shyamalan, film debut putrinya ini bisa dikatakan memiliki "tone" yang serupa.
Sejak awal, hal ini sudah tampak, bagaimana Ishana mengambil gambar close-up tajam pada karakter utamanya sementara karakter lain terlihat buram.
Selain Mina, wajah karakter lain tidak pernah terlihat jelas. Satu lagi gaya estetik yang diadopsi dari ayahnya adalah ilustrasi musik, menggunakan alunan biola bernuansa kelam. Ilustrasi musik ini hadir sepanjang film.
Jika tidak mengetahui sebelumnya siapa pembuatnya, dari adegan pembuka saja, orang pasti mengira ini adalah karya M. Night Shyamalan.
Elemen Fantasi dan Mitos
Lagi, jika dibandingkan dengan sang ayah, film ini memang memiliki elemen fantasi yang mirip dengan Lady in the Water (2006). Cerita The Watchers penuh dengan mitos dan folklore, serta menggabungkan elemen trauma dari tokohnya.
Meskipun agak terlalu absurd, kisah yang ditulis oleh sang sineas tetap terhitung unik dengan kemasan estetiknya (set terbatas).
Eksposisinya juga terbilang lemah, hingga akhir tidak banyak penjelasan rinci tentang makhluk-makhluk tersebut yang konon dulunya akrab dengan manusia, bahkan bisa beranak-pinak.
Mungkin di Asia, makhluk ini lebih dikenal dengan istilah "siluman". Bagi kita yang akrab dengan konsep ini, ceritanya masih terasa mentah dan dangkal.
Membangun Misteri dan Ketegangan
Lebih lanjut mengenai cerita, seperti sang ayah, Ishana berhasil membangun sisi misteri dengan baik meskipun ketegangannya kurang intens.
Sepanjang cerita, rasa penasaran kita terusik, dan teka-teki mengenai identitas sang monster serta latar belakangnya berhasil dijaga dengan baik hingga akhir.
Meskipun kisahnya sebagian besar berlangsung di hutan dan satu bangunan tertutup, sang sineas berhasil mengolahnya dengan apik.
Namun, sisi ketegangannya terasa kurang mengancam. Mengapa, jika puluhan makhluk tersebut ingin masuk ke dalam ruangan, mereka tidak segera memecahkan kaca yang jauh lebih cepat dan mudah.
Penundaan semacam ini bisa dimaklumi untuk memberi waktu bagi para tokoh untuk melarikan diri, namun tetap terasa konyol.
Sementara twist di akhir film adalah salah satu ciri khas ayahnya, Ishana juga menerapkan hal yang sama, meskipun tidak sekelas dengan The Sixth Sense. Bagi penggemar film sejati, tampaknya tidak sulit untuk menebak twist-nya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS