Review Novel Perempuan Bayangan, Cerita dengan 3 Sudut Pandang

Hayuning Ratri Hapsari | Rofita Cahya
Review Novel Perempuan Bayangan, Cerita dengan 3 Sudut Pandang
Perempuan Bayangan (Goodreads)

Perempuan Bayangan adalah buku yang ditulis oleh Netty Virgiantini pada tahun 2020. Novel ini menceritakan tentang Ningrum, seorang perempuan 30 tahun yang divonis tidak akan bisa memiliki keturunan.

Kondisi itu membuatnya dua kali ditolak oleh calon mertua, dan ia menerima kenyataan bahwa seumur hidup tidak akan menikah dan tidak akan pernah membahagiakan orang tuanya.

Temannya, Padmi, mengenalkan ia dengan sepupunya yang bernama Satria. Pria itu masih berduka sejak kepergian istrinya tiga tahun lalu. Ia berjanji tidak akan ada perempuan lain yang akan ia cintai.

Dengan tawaran Padmi, baik Ningrum ataupun Satria, tidak ada yang bisa menolak keuntungan yang ditawarkan. Satria untuk sekadar mengisi sepi, dan Ningrum untuk membahagiakan kedua orang tuanya yang ingin mengantarkan anaknya ke jenjang pernikahan.

Setelah menikah tanpa cinta, Ningrum tidak pernah ingin menjadi pengganti Utari sebagai istri Satria. Mereka menikah tanpa cinta. Hingga pada akhirnya Ningrum menyadari bahwa ada perasaan yang tumbuh perlahan dalam hatinya.

Ulasan

Novel yang berjumlah 216 halaman ini memiliki jalan cerita yang cukup unik. Terdapat beberapa cerita dengan 3 sudut pandang yang berbeda.

Contohnya, satu cerita bukan hanya ditulis dalam satu bab, tetapi dalam tiga bab. Masing-masing bab itu menggunakan sudut pandang dari Ningrum, Satria, dan juga Utari yang diceritakan menjadi 'makhluk halus' di sini.

Cerita tentang kehidupan antara Ningrum dan Satria juga bisa dikatakan 'anti-mainstream' dengan latar belakang mereka yang menikah tanpa cinta. Penggambaran karakter keduanya juga ditulis dengan narasi yang jelas oleh penulis. Ningrum yang selalu riang dan Satria yang perlahan bisa mengisi kekosongan hati di rumahnya.

Latar tempat di Semarang juga dideskripsikan dengan baik, bukan hanya sekadar tempelan. Nama-nama jalan dan suasana tempat nongkrong juga menambah nilai, terlebih lagi jika pembaca merupakan orang yang pernah tinggal di Semarang.

Hanya saja, alur cerita dalam novel ini cenderung terlalu cepat. Pendekatan antara Ningrum dan Satria juga terkesan canggung, terlebih lagi kehadiran Utari dalam bentuk makhluk tak kasat mata yang turut hadir di kehidupan mereka.

Sayangnya, penggunaan bahasa daerah tidak diberikan terjemahannya, sehingga membuat orang-orang yang tidak paham bahasa Jawa menjadi kebingungan.

Pada bagian akhir juga terjadi terlalu cepat. Kurangnya narasi dan pendekatan dalam premis 'memperbaiki hubungan' sehingga terkesan tiba-tiba saja sudah selesai.

Tetapi, novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2020 ini tetap menarik untuk dibaca.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak