Jika sebelumnya saya membaca novel-novel karya Ruwi Meita yang bergenre thriller, misteri, horor bahkan fantasi. Kali ini, saya membaca novel karya beliau bergenre drama dan merupakan adaptasi dari sebuah film berjudul Sepuluh.
Novel terbitan GagasMedia (2009) ini berkisah tentang seorang buruh cuci setrika bernama Yanti. Suaminya, Aditya, pecandu narkoba yang suatu kali menculik anak mereka, Maria, yang baru berusia delapan bulan dan membawanya entah ke mana. Yanti kehilangan jejak karena tertabrak mobil saat mengejar Aditya.
Sepulang dari rumah sakit setelah menjalani perawatan cukup lama, Yanti malah dibekuk polisi atas penyimpanan narkoba. Tak tanggung-tanggung hukuman yang harus ia terima adalah sepuluh tahun, meski ia tak tahu-menahu bagaimana barang haram itu bisa ada di kontrakannya.
Setelah keluar dari penjara, Yanti kembali menjadi buruh cuci sambil berupaya mencari jejak Maria dan Aditya, yang juga menghilang. Namun, Yanti malah bertemu Mongki, anak jalanan yang diselamatkannya dari penganiayaan.
Kedekatannya pada Mongki sedikit banyak menghibur hati Yanti akan keinginannya berjumpa dengan Maria. Namun, banyak hal yang disembunyikan Mongki dari Yanti, terutama tentang perlakuan buruk Dargo dan anak buahnya di barak lokalisasi tempat Mongki tinggal.
Suatu kali Yanti menyinggung kalung berinisial M yang selalu dipakai Mongki. Tak disangka Mongki justru berkata bahwa kalung itu milik Maria, anak jalanan yang kabur dua tahun lalu.
Akankah kali ini Yanti berhasil menemukan Maria? Bisakah Yanti mencapai angka sepuluh, sebuah filosofi yang merujuk pada kesempurnaan yang selama ini tak pernah bisa ia raih?
“Nggak begitu, Yan. Hidup ini tidak pernah sempurna. Kesempurnaan itu hanyalah apa yang kita angankan. Tidak ada orang yang selalu mencapai nilai sepuluh. Itu hanya permainan angka.” (Hal. 37)
Bukan pekerjaan mudah untuk mengadaptasi sebuah film ke bentuk novel, tapi Ruwi Meita berhasil melakukannya. Membaca novel Sepuluh membuat dada saya terasa sesak.
Anak jalanan yang kerap dipandang sebelah mata, ternyata menjalani hidup yang demikian kerasnya. Dalam novel ini mereka dipekerjakan sebagai pengamen, yang harus menyetorkan sejumlah uang yang tak sedikit jumlahnya.
Dargo—bos besar pemilik lokalisasi yang mempekerjakan wanita malam dan anak jalanan—juga memiliki bisnis kotor lain berupa narkoba dan perdagangan anak untuk dijual organ tubuhnya.
Anak-anak jalanan tersebut tak hanya dieksploitasi tenaganya, tapi juga mengalami kekerasan seksual, dari transaksi yang dilakukan anak buah Dargo dengan sejumlah lelaki hidung belang yang mengincar anak-anak, laki-laki maupun perempuan.
Karakter Yanti meskipun mengalami perkembangan seiring berjalannya cerita, tapi bagi saya kurang menonjol. Demikian pula karakter Thomas, lelaki dari masa lalu Yanti yang masih memendam cinta pada perempuan itu, karakternya tak membekas di hati saya.
Karakter Dargo justru terasa begitu dominan dan mengintimidasi saya sebagai pembaca. Begitu pun karakter Mongki, gadis kecil pemberani, keras kepala, dan berjiwa pemberontak, nyatanya ingatan saya lebih membekas pada karakternya yang kuat.
Konfliknya sendiri cukup kompleks menyangkut perjuangan seorang ibu, perdagangan organ tubuh, narkoba, pelacuran, perdagangan dan eksploitasi anak, kekerasan seksual pada anak, serta sedikit menyindir hukum di Indonesia yang masih berat sebelah.
Kekurangan pada novel ini ada pada nasib Thomas yang menyisakan tanda tanya bagi saya. Setelah ‘kejahatan’ yang ia lakukan, saya menduga akan ada hukuman yang cukup berat baginya. Namun nyatanya, saya tak menemukan itu sampai di akhir cerita.
Meskipun ada sedikit kekurangannya tersebut, tapi novel Sepuluh sudah berhasil menggugah empati saya tentang nasib dan penderitaan anak jalanan, yang selama ini luput dari perhatian. Semoga juga akan menggugah hati Sobat Yoursay, setelah kalian membacanya.
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE