Film horor Indonesia terus berevolusi, dan salah satu karya terbaru yang mencuri perhatian adalah Racun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga yang disutradarai Rizal Mantovani.
Tayang perdana pada 12 Desember 2024, film ini menyuguhkan kisah yang terbilang unik dengan mengangkat tema santet dalam latar budaya Kalimantan serta penggunaan bahasa Banjar, memperkaya khasanah genre horor lokal yang biasanya didominasi nuansa Jawa.
Bagi saya, ini adalah keluaran ide yang segar untuk film horor Indonesia yang membuktikan bahwa horor Indonesia tidak hanya berkembang dalam visual, tetapi juga mampu menggali narasi berbasis kepercayaan dan tradisi masyarakat.
Santet Sebagai Tema Sentral: Kisah Nyata atau Embel-Embel Promosi?
Salah satu daya tarik utama Racun Sangga adalah klaim bahwa ceritanya terinspirasi dari kisah nyata. Pasangan suami istri Mahya (Frederika Cull) dan Andi (Fahad Haydra) yang baru menikah harus menghadapi ancaman santet berupa racun sangga, yang perlahan merusak kehidupan rumah tangga mereka.
Meski terdengar menyeramkan, pertanyaan besar tetap ada, benarkah ini berasal dari kisah nyata, atau sekadar embel-embel pemasaran untuk mendongkrak daya tarik film?
Saya pribadi merasa sulit untuk percaya sepenuhnya pada klaim tersebut. Sebagai orang awam, khususnya yang tidak tinggal di daerah Banjar Kalimantan, konsep santet terdengar seperti sesuatu yang berada di luar jangkauan logika.
Tapi siapa kita untuk memungkiri kepercayaan orang lain? Budaya Indonesia sangat multikultural, dan hal seperti ini menjadi bagian dari tradisi yang harus kita akui keberadaannya.
Dalam konteks film, kisah ini berhasil membuka perspektif baru bagi penonton tentang bagaimana kepercayaan lokal bisa menjadi sumber cerita yang menegangkan sekaligus menggugah rasa ingin tahu.
Nuansa Horor yang Berbeda: Atmosfer Mencekam Tanpa Jumpscare Berlebihan
Salah satu elemen yang paling saya apresiasi dari film ini adalah keberanian Rizal Mantovani untuk menjauh dari formula horor konvensional yang sering mengandalkan jumpscare.
Sebaliknya, Racun Sangga memilih untuk membangun atmosfer mencekam melalui scoring yang mendalam dari Aghi Narottama.
Ini memberikan pengalaman horor yang lebih intens dan tahan lama, di mana ketegangan tidak hanya bergantung pada kejutan sesaat tetapi juga pada emosi yang terus terbangun sepanjang film.
Selain itu, film ini juga menonjolkan elemen body horror yang cukup realistis. Penderitaan fisik Andi akibat santet divisualisasikan dengan efek makeup yang luar biasa, membuat penonton tidak hanya merasa ngeri, tetapi juga berempati terhadap karakternya.
Hal ini, menurut saya, menambah kedalaman cerita dan membuat Racun Sangga berbeda dari film horor Indonesia pada umumnya.
Rizal Mantovani: Membawa Perspektif Baru dalam Horor Lokal
Rizal Mantovani sekali lagi membuktikan bahwa dia adalah salah satu sutradara terbaik di genre ini. Setelah sukses dengan film seperti Kereta Berdarah, yang masih melekat di ingatan saya, karena memiliki konsep segar ala Train to Busan versi Indonesia, Rizal kini menawarkan eksplorasi budaya lokal yang jarang disorot.
Kecerdasannya dalam mengolah elemen tradisional menjadi tontonan yang modern dan relevan adalah salah satu kekuatannya.
Racun Sangga bukan hanya sebuah film horor, tetapi juga refleksi tentang bagaimana kepercayaan lokal, seperti santet, masih menjadi bagian penting dari kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
Meski mungkin kita skeptis tentang keberadaan hal-hal gaib seperti ini, film ini berhasil memaksa kita untuk mengakui keragaman budaya dan tradisi yang ada di negara kita.
Kepercayaan Lokal dalam Bingkai Multikulturalisme
Indonesia adalah negara dengan keberagaman budaya, agama, dan tradisi yang sangat kaya. Dalam hal ini, Racun Sangga berfungsi sebagai jembatan untuk memperkenalkan kepercayaan masyarakat Banjar kepada khalayak yang lebih luas.
Bagi sebagian orang, seperti saya, yang belum pernah merasakan atau menyaksikan langsung praktik santet, cerita seperti ini menjadi semacam "pengingat" bahwa hal-hal seperti itu mungkin saja ada dalam sudut pandang orang lain.
Kita mungkin tidak harus percaya sepenuhnya, tetapi menghormati kepercayaan orang lain adalah bagian dari sikap toleransi yang perlu kita miliki. Film seperti ini juga memberikan edukasi budaya secara tidak langsung, memperkaya wawasan penonton tentang keragaman Indonesia.
Mungkin kita tidak harus percaya pada keberadaan santet, tetapi setidaknya kita bisa mengambil pelajaran dari cerita ini bahwa keberagaman tradisi dan kepercayaan di Indonesia adalah sesuatu yang patut kita hargai.
Dan seperti halnya teror dalam Racun Sangga, mungkin ada hal-hal di dunia ini yang memang tidak akan kita pahami sepenuhnya, sampai kita mengalaminya sendiri.