Novel Olga: Lengser ke Cirebon merupakan novel serial karya dari Hilman Hariwijaya dan diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama (1998). Dalam serial Olga kali ini, penulis mengisahkan tentang kejatuhan sebuah pemimpin negara dan imbasnya pada banyak hal di Indonesia saat itu.
Dikisahkan krisis moneter (krismon) tengah melanda Indonesia. Banyak perusahaan gulung tikar, terjadi PHK besar-besaran, banyak juga pekerja yang dirumahkan sampai waktu tak terbatas.
Demikian pula yang terjadi di Radio Ga Ga, tempat Olga bekerja sebagai penyiar radio. Perusahaan tengah mengadakan perampingan sebagai imbas krismon. Beberapa pegawai di-PHK termasuk Ucup, rekan Olga sesama penyiar.
Ucup terpilih karena ia penyiar yang paling tidak disiplin dan acaranya selalu memperoleh rating terendah. Ucup yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, tentu saja menyayangkan keputusan yang diambil Mas Ray, atasannya.
Tidak hanya Ucup yang terimbas krisis moneter. Pak Mintoro, Papi Olga yang berprofesi sebagai dosen matematika juga dirumahkan karena universitas tak sanggup menggaji Papi.
Krisis moneter, demo mahasiswa berujung pada lengsernya orang nomor satu di Indonesia, diikuti tragedi Mei 1998 yang memicu penjarahan yang terjadi di mana-mana. Mas Ray, pemilik Radio Gaga, menjadi salah satu orang yang rumahnya terkena penjarahan.
“Maaf Pak Ray. Mereka betul-betul brutal. Semua diambil. Semua dijarah. Hanya ini yang bisa diselamatkan! Sisanya dijarah. Untung aja rumah kita nggak dibakar.” (Hal. 36)
Novel Olga: Lengser ke Cirebon ketika kita membacanya di masa sekarang, menjadi semacam kilas balik sejarah dan tragedi Mei 1998 sebagai rentetan dari lahirnya reformasi dan lengsernya presiden kala itu.
Meskipun tema yang diusung lumayan berat, tapi sebagai novel bergenre komedi, sang penulis tak serta-merta melepaskan identitas novel Olga sebagai bacaan ringan penuh kekocakan dari para tokohnya.
Dalam seri Olga: Lengser ke Cirebon, penulis mengangkat fenomena penjarahan kala itu melalui kisah para tokohnya. Seperti Somad, fans berat Olga yang bisa membeli ponsel murah hasil jarahan. Bahkan emaknya Somad mendadak jadi penadah barang-barang hasil jarahan.
Demikian pula dengan PHK masal dan banyaknya karyawan yang dirumahkan tanpa kejelasan, penulis meramunya dengan ciamik melalui kisah Papi Olga dan Ucup yang cukup memberikan gambaran jelas akan pahitnya keadaan masa itu.
Jika ada kekurangan pada novel ini, maka itu saya rasakan pada karakter Mami Olga. Di buku-buku terdahulu si Mami memiliki ciri khas selalu berbicara dalam tiga bahasa sekaligus, yaitu: Indonesia, Sunda, dan Belanda. Namun, di seri Olga: Lengser ke Cirebon, ciri khas tersebut hilang. Mami Olga hanya bicara dalam bahasa Indonesia dan cuma sekali menyisipkan bahasa Belanda.
Selain dari sedikit kekurangannya tersebut, novel ini bisa memberikan informasi kepada generasi masa kini untuk melihat kilas balik sejarah dan tragedi Mei 1998 yang dikemas dalam balutan komedi.