Menggali Kedalaman Mental dan Krisis Eksistensial di Novel 'The Bell Jar'

Hernawan | Sabit Dyuta
Menggali Kedalaman Mental dan Krisis Eksistensial di Novel 'The Bell Jar'
Novel The Bell Jar (berdikaribook.red)

Bagaimana jika dunia di sekitar terasa asing, meskipun tidak ada yang benar-benar berubah? Bagaimana jika hidup yang seharusnya penuh dengan peluang justru terasa menyesakkan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi inti dari novel "The Bell Jar" karya Sylvia Plath, sebuah kisah yang menelusuri kompleksitas kesehatan mental, ekspektasi sosial, dan pencarian identitas seorang perempuan muda.

"The Bell Jar" adalah satu-satunya novel yang ditulis oleh penyair Amerika, Sylvia Plath. Diterbitkan pertama kali pada Januari 1963 dengan nama pena "Victoria Lucas", novel ini dianggap sebagai karya semi-autobiografi yang mencerminkan pengalaman pribadi Plath.

Cerita bermula dengan mengikuti perjalanan Esther Greenwood, seorang mahasiswi berbakat yang mendapatkan kesempatan magang di majalah mode ternama di New York. Kesuksesan ini seharusnya menjadi langkah besar dalam hidupnya, tetapi justru semakin memperjelas rasa keterasingannya.

Esther mulai mempertanyakan arah hidupnya, merasa tertekan oleh ekspektasi masyarakat terhadap peran perempuan, dan mengalami krisis eksistensial yang lambat laun membawanya ke dalam depresi.

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah cara Plath menggambarkan kesehatan mental dengan begitu mendalam dan nyata.

Esther merasa seolah-olah berada di bawah bell jar—sebuah metafora untuk keterasingan dan tekanan psikologis yang membuatnya sulit bernapas atau berhubungan dengan dunia luar. Depresi yang ia alami bukan hanya sekadar kesedihan, tetapi kehilangan kendali atas kehidupannya sendiri.

Selain itu, novel ini juga mencerminkan tekanan sosial terhadap perempuan pada era 1950-an. Esther dihadapkan pada dilema antara mengejar karier dan tunduk pada norma masyarakat yang mengharapkan perempuan untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.

Pilihan-pilihan yang tampak tersedia baginya terasa seperti jebakan, yang semakin memperdalam perasaan frustasi dan keterasingannya.

Plath juga menyoroti bagaimana sistem kesehatan mental pada masa itu masih kurang memahami penderitaan emosional perempuan.

Pengalaman Esther dengan terapi kejut listrik menggambarkan metode pengobatan yang lebih menekan daripada menyembuhkan, mencerminkan bagaimana penderita gangguan mental sering kali diperlakukan dengan pendekatan yang tidak manusiawi.

Hingga saat ini, "The Bell Jar" tetap relevan dalam membahas stigma terhadap penyakit mental dan ekspektasi sosial yang masih membayangi kehidupan banyak orang.

Bukan hanya kisah tentang seorang individu, novel ini dengan bahasa yang kuat dan emosional juga menyuarakan realitas pahit tentang bagaimana masyarakat sering kali gagal memahami penderitaan yang tidak terlihat.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak