Review Novel 'Sumur': Pergi atau Bertahan, Tak Ada yang Benar-Benar Menang

Sekar Anindyah Lamase | Sabit Dyuta
Review Novel 'Sumur': Pergi atau Bertahan, Tak Ada yang Benar-Benar Menang
Novel Sumur (Gramedia)

Hidup tak pernah benar-benar sederhana. Ada perpisahan yang datang tanpa diundang, ada luka yang bertahan meski waktu terus berjalan. Ada juga tempat-tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan, tetapi ketika kembali, semuanya terasa berbeda.

"Sumur" karya Eka Kurniawan bukan hanya tentang kisah cinta yang kandas di tengah jalan. Ini adalah cerita tentang orang-orang yang terjebak antara masa lalu dan masa depan, tentang keputusan-keputusan sulit yang harus diambil, dan tentang bagaimana kehilangan bisa mengubah seseorang selamanya.

Toyib dan Siti tumbuh bersama di desa yang dikepung kekeringan. Sumur di tengah desa menjadi saksi kehidupan mereka, tempat mereka berbagi cerita, tempat yang seharusnya memberi kehidupan. Tapi kenyataan berkata lain.

Perselisihan orang tua mereka merusak segalanya, mengubah sumur itu menjadi titik awal perpisahan. Siti pergi ke kota, mencoba membangun hidup baru, sementara Toyib tetap tinggal, berusaha bertahan dengan semua yang tersisa.

Kehidupan membawa mereka ke arah yang berbeda. Kota memberi Siti kesempatan untuk melupakan, tapi juga menciptakan kesepian yang sulit dijelaskan.

Di kota, segalanya bergerak cepat. Ada gedung-gedung tinggi yang seakan tak peduli pada orang-orang yang melintas di bawahnya. Tidak ada yang bertanya tentang asal-usul, tidak ada yang peduli pada cerita lama. Kota menawarkan kebebasan, tetapi juga menyimpan keterasingan yang tajam.

Di sisi lain, Toyib tetap berada di desa, menghadapi realitas yang tak kunjung berubah. Kekeringan yang dulu hanya masalah sementara kini semakin menjadi-jadi. Desa yang dahulu penuh kehidupan kini semakin sunyi, ditinggalkan oleh mereka yang memilih pergi.

Toyib bukan tidak ingin pergi, tapi ada sesuatu yang menahannya—entah itu kenangan, rasa tanggung jawab, atau sekadar ketakutan akan dunia luar yang tak dikenalnya.

Pilihan mereka mencerminkan dilema yang dihadapi banyak orang. Ada yang memilih pergi untuk mencari masa depan yang lebih baik, ada yang tetap tinggal karena tak punya pilihan lain.

Tapi apakah kepergian berarti terbebas dari masa lalu? Ataukah bertahan berarti harus terus hidup dengan bayang-bayang kenangan? Tak ada jawaban yang benar-benar pasti.

Saat akhirnya mereka bertemu kembali, sumur yang dulu menjadi saksi masa kecil mereka kini menyimpan tragedi baru. Tidak ada pertemuan yang penuh kehangatan seperti dalam cerita romantis. Yang ada hanyalah dua orang yang pernah saling mengenal, kini berdiri di tempat yang sama, tetapi dengan hati yang tak lagi seperti dulu.

Masa lalu yang berusaha dikubur perlahan muncul ke permukaan, mengingatkan bahwa luka tak akan benar-benar sembuh hanya karena waktu telah berlalu.

Di balik kisah Toyib dan Siti, ada kenyataan yang lebih luas: bagaimana kehidupan sering kali memaksa manusia untuk memilih antara bertahan atau pergi.

Ada yang tetap tinggal karena tak punya pilihan lain, ada yang memilih pergi hanya untuk menemukan bahwa kepergian tak selalu berarti kebebasan.

Di sisi lain, perubahan lingkungan, seperti kekeringan yang mengubah wajah desa, juga menjadi pengingat bahwa dunia tak selalu memberi ruang bagi mereka yang ingin tetap tinggal.

Bukan hanya persoalan cinta dan kehilangan, cerita ini juga berbicara tentang ketimpangan sosial yang nyata. Mereka yang memiliki kesempatan bisa melarikan diri dari tempat yang tak lagi memberi harapan, sementara mereka yang tertinggal harus menerima kenyataan yang ada.

Kekeringan dalam novel ini bukan sekadar kondisi alam, tapi juga metafora dari hidup yang semakin sulit, impian yang mengering sebelum sempat tumbuh, dan perasaan yang perlahan-lahan mati karena kenyataan yang terlalu keras.

"Sumur" merupakan lebih dari cerita tentang dua orang yang terpisah oleh keadaan, tetapi juga tentang manusia yang berusaha memahami dirinya sendiri. Ada orang-orang yang percaya bahwa waktu bisa menyembuhkan luka, ada pula yang tahu bahwa beberapa hal akan tetap terasa sama, meskipun tahun-tahun telah berlalu.

Pada akhirnya, ini adalah kisah tentang perasaan yang mungkin tak asing bagi banyak orang—tentang seseorang yang pernah pergi, seseorang yang tetap tinggal, dan kenangan yang terus bertahan di antara mereka.

Cerita ini mengajarkan bahwa kehidupan bukanlah sesuatu yang bisa ditebak atau dikendalikan sepenuhnya. Ada hal-hal yang terjadi di luar kuasa manusia, ada keputusan yang harus diambil meski tak ada pilihan yang benar-benar baik.

Beberapa luka mungkin akan sembuh, tapi sebagian lainnya akan tetap ada, tersembunyi di dalam diri, seperti sumur yang menyimpan air di dasarnya—diam, dalam, dan tak tersentuh.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak