Ada sesuatu yang romantis sekaligus brutal dari cerita tentang orang-orang bersenjata di tanah nggak bertuan. Jadi, saat tahu Gunslingers, film terbaru dari Nicolas Cage yang mempertemukannya dengan Stephen Dorff dan Heather Graham tayang sejak 11 April 2024, langsung deh duduk manis dan nonton sajian aksi yang ditawarkan. Sayangnya setelah ±104 menit, entah mengapa kesan yang tertinggal itu bak di tengah padang pasir tanpa arah. Kok bisa? Lanjut kepoin ya!
Disutradarai dan ditulis Brian Skiba dan diproduksi SkibaVision dan Hillin Entertainment, yang dengan kehadiran Nicolas Cage, seharusnya jadi jaminan hiburan, apalagi mengingat betapa eksentriknya dia dalam peran-peran sebelumnya. Namun, kali ini, eksentrik yang dia hadirkan malah lebih menggelitik alis doang.
Sekilas tentang Film Gunslingers
Thomas Keller (Stephen Dorff) tuh buronan dengan nilai hadiah terbesar yang pernah ditawarkan. Dia bersembunyi di kota kecil bernama Redemption, tempat yang dihuni para misfit: Jericho (Costas Mandylor), Ben (Nicolas Cage), dan Lin (Tzi Ma).
Namun kedatangan Robert (Jeremy Kent Jackson), si penembak satu mata dengan dendam dan amunisi yang cukup mampu meluluhlantakkan satu kota, mengubah segalanya. Bersama pasukannya, Robert mengejar Thomas tanpa ampun. Di tengah ketegangan itu ada Val (Heather Graham) serta putrinya yang ketakutan.
Kota kecil itu jadi medan pertempuran, dan para warga harus memutuskan: Menyerahkan Thomas atau bertarung demi keadilan yang rapuh.
Seru ya? Terbayang betapa kacaunya, tapi ….
Impresi Selepas Nonton Film Gunslingers
Terjebak di antara moral dan peluru, ‘Gunslingers’ ingin menjadi semacam High Noon versi edgy dan penuh aksi. Sayangnya, yang aku tonton terasa lebih seperti High Confusion.
Lalu apa yang salah?
Yuk kita mulai dengan satu-satunya hal yang benar-benar kuingat. Adegan di mana Nicolas Cage tampil total dengan aksen yang entah datang dari mana—mungkin gabungan seseorang yang baru pulih dari radang tenggorokan. Aneh? Ya. Menghibur? Sekilas. Ikonik? Mungkin cuma penggemar garis keras Cage yang menikmati performa “takedown” seperti itu.
Masalahnya, hanya itu momen yang benar-benar membekas. Sisanya, Film Gunslingers seperti menembak dengan mata tertutup. Aksi tembak-menembaknya cepat dan terlalu banyak potongan gambar, membuatku bertanya, “Tadi yang kena siapa? Dia nembak dari mana?”
Hmmm … sang sutradara tampaknya lebih sibuk membuat para aktornya berdiri dalam pose keren daripada membangun ketegangan atau kedalaman karakter.
Stephen Dorff, surprisingly, tampil lebih kuat dibandingkan rekan-rekannya meski dialog yang diberikan sangat terbatas. Aura klasik cowboy dengan kharismanya bisa keluar gitu, ya lumayan menyelamatkan adegan-adegan garingnya. Sementara itu, Heather Graham nggak punya ruang untuk berkembang. Sisanya B doang.
Aku sebetulnya ingin menyukai Gunslingers seutuhnya. Sayangnya aku cuma suka atmosfer kota kecil yang penuh rahasia, ide tentang perburuan manusia yang penuh dilema moral, dan ensemble cast yang keren-keren itu. Sayangnya memang, film ini kayak juga lagi membangun rumah dengan dinding kardus. Terlalu tipis. Terlalu tergesa-gesa.
Dan di balik semua baku tembak dan debu beterbangan, aku nggak menemukan jiwa yang seharusnya jadi inti film koboi yang baik, yakni perjuangan manusia untuk bertahan, memilih, dan menebus kesalahan.
Oke deh, Sobat Yoursay. Segini cukup ya. ‘Gunslingers’ memang punya premis seru, tapi nggak mampu mengangkatnya jadi sajian yang kece badai. Mungkin cuma cocok untuk penonton yang ingin melihat Nicolas Cage.
Kalau Sobat Yoursay mau nonton, tontonlah. Toh, suka atau nggaknya kita dengan apa yang disajikan dalam film, itu hanya soal selera kok.
Skor: 2,5/5