Review Film Pavements: Yang Nggak Mau Jadi Dokumenter Musik Biasa

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film Pavements: Yang Nggak Mau Jadi Dokumenter Musik Biasa
Poster Film Pavements (IMDb)

Kalau Sobat Yoursay pikir ‘Pavements’ bakal jadi dokumenter musik yang nurut sama pakem—ada footage jadul, wawancara panjang lebar, dan deretan lagu hits yang diputar penuh nostalgia—kamu salah besar. Film ini justru jalan ke arah yang sebaliknya; aneh, nyeleneh, penuh sindiran, dan nyaris nggak bisa didefinisikan. Di situlah menariknya film ini. 

Disutradarai Alex Ross Perry, yang sebelumnya bikin ‘Her Smell’, nah Film Pavements tuh semacam penghormatan penuh humor dan keganjilan buat band slacker legendaris dari era 90-an: Pavement. 

Impresi Selepas Nonton Film Pavements

Film ini nggak jalan lurus. Malah bercabang ke mana-mana. Ada beberapa segmen yang berseliweran: 

  • Film biopik fiksi berjudul Range Life: A Pavement Story, sebuah musikal yang absurd.
  • Lalu pameran museum fiktif (Pavements 1933–2022)
  • Dan reuni nyata mereka di tahun 2022

Sebagian nyata, sebagian ngibul, dan semuanya disatukan dengan editing ciamik dari Robert Greene yang bikin semua kekacauan itu terasa padu.

Buat bagian biopiknya, Sutradara Alex Ross Perry ngajak bintang-bintang yang cukup terkenal lho. Di antaranya:

  • Joe Keery jadi Stephen Malkmus 
  • Fred Hechinger jadi Bob Nastanovich
  • Jason Schwartzman muncul sebagai pendiri Matador Records
  • Dan tentunya masih banyak lagi para bintang pendukung lainnya 

Namun, jangan harap akting serius penuh penghayatan. Joe Keery, lewat karakternya, nyindir aktor-aktor biopik ambisius dengan bilang ambil peran ini ‘buat dapat award mungkin’. Ini lelucon sinis buat aktor-aktor yang terlalu ambisius di film biopik sih.

Lalu bagian musikalnya? Kacau tapi menghibur. 

Meski tampilannya kacau balau, ‘Pavements’ tetap ngasih potret jujur tentang paradoks Band Pavement itu sendiri. Mereka sering dicap sebagai band yang “anti-mainstream,” yang sengaja nggak rapi, yang sengaja nyeleneh, yang sengaja nggak ngejar hits. Namun nyatanya, mereka dalam film ini digambarkan pernah masuk iklan Apple—entah benar atau ngibul—dan itu menunjukkan kontradiksi antara anti-mainstream dan keinginan dikenal luas.”

Biarpun ini bukan dokumenter “play the hits,” lagu-lagu Band Pavement tetap nongol di banyak momen. Baik lewat rekaman konser, latihan band, adegan musikal, atau bahkan saat Joe Keery pura-pura bikin Stereo “spontan” dalam adegan biopik. Bahkan band lain kayak Soccer Mommy dan Bully muncul di film ini membawakan lagu-lagu Pavement di pembukaan galeri. Dan itu bikin film ini terasa hidup, bahkan buat yang bukan fans berat.

Yang jelas dokumenter dalam Film Pavements bukan buat semua orang. Kalau kamu mencari dokumenter yang runut dan informatif, ini bukan filmnya. Beda lagi kalau kamu suka tontonan yang metatekstual, suka humor sinis, dan penasaran gimana jadinya kalau dokumenter, musikal, film biopik, dan museum dipadukan jadi satu, tentunya kamu bakal bilang film ini adalah petualangan yang menyenangkan. Sang sutradara dan timnya berhasil menangkap semangat Pavement yang nyeleneh, dan itu, lebih dari sekadar dokumentasi, alias penghormatan yang paling tulus.

Biarpun terkesan kayak semacam eksperimen absurd yang menantang cara kita memahami sejarah band dan mencari makna dari kekacauan yang disengaja. Film ini nggak ngasih informasi dengan cara yang lurus dan rapi, tapi membiarkan semuanya berantakan, nyeleneh, dan terasa jujur dalam ketidakteraturannya. Dan justru di situ daya tariknya. 

Lewat gabungan yang ganjil antara musikal, biopik palsu, dokumenter konser, dan instalasi museum fiktif, Film Pavements terasa kayak surat cinta yang nggak romantis-romantis amat. Jadi nggak cuma mengenang Pavement sebagai band indie legendaris, tapi mengupas semua paradoks dan kontradiksi mereka, dengan gaya yang juga paradoks dan kontradiktif. 

Ibaratnya, film ini nggak ingin “mendewakan” band-nya, tapi juga nggak sinis. 

Buat yang berharap dokumenter dengan narasi kronologis, wawancara mendalam, dan potongan-potongan konser yang runut, film ini jelas bukan jawabannya. Namun, kalau Sobat Yoursay tipe yang suka melihat arsip sejarah band dari sudut yang nyeleneh, suka mikir kenapa sebuah band bisa begitu dibenci sekaligus dicintai, dan nggak keberatan ditarik ke dunia yang separuh nyata separuh ngibul, Film Pavements adalah tontonan yang menyenangkan, membingungkan, sekaligus memikat.

Skor: 3,5/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak