Impresi Jujur Selepas Nonton Film Folktales

Hernawan | Athar Farha
Impresi Jujur Selepas Nonton Film Folktales
Poster Film Folktales (IMDb)

Apa jadinya jika kita mengambil jeda dari dunia yang riuh dan modern, dengan mengasingkan diri ke tempat terpencil di atas Lingkar Arktik, tinggal bersama anjing-anjing sled, dan hidup dengan prinsip zaman purba? 

Bagiku, ‘Folktales’ yang Rilis perdana di Sundance Film Festival, 25 Januari 2025, bukan sebatas dokumenter tentang remaja Skandinavia yang belajar bertahan hidup di alam liar. Film ini tuh cerminan mendalam tentang kehilangan, pencarian jati diri, dan bagaimana koneksi dengan alam bisa membuka sesuatu yang telah lama tertidur dalam diri kita.

Disutradarai Heidi Ewing dan Rachel Grady, film ini tampak menegaskan metode cara mereka mengarahkan film terkait fokusnya pada karakter, bukan topik yang diusung. Yap, kita nggak akan diajak memahami folk school sebagai sistem, tapi merasakannya melalui mata, suara, dan perjalanan batin tiga remaja yang mencoba menemukan kembali rasa percaya diri mereka yang hilang.

Mulai penasaran, kan? Sini deh kepoin lebih lanjut! 

Sinopsis Film Folktales 

Cerita berlangsung di Pasvik Folk High School, terletak di Finnmark, Norwegia (lebih dari 300 kilometer di atas Lingkar Arktik). 

Tradisi folk school sendiri bermula sejak abad ke-19, ketika masyarakat Nordik merasa perlu menguatkan nilai kebersamaan dan jati diri nasional di tengah perubahan besar akibat industrialisasi. Hingga hari ini, sekolah semacam ini menjadi semacam ruang transisi; semacam gap year tempat para pemuda menggali makna hidup, jauh dari layar dan sinyal internet.

Pasvik punya kurikulum unik, yakni pelatihan mengemudikan kereta luncur anjing, berburu, hingga bushcraft (ilmu bertahan hidup di alam liar). Dan inilah yang dijalani Hege, Bjørn Tore, dan Romain.

Hege, gadis 19 tahun yang masih dirundung duka karena kehilangan ayahnya dua tahun lalu, mengaku dirinya overthinker. Dia membawa terlalu banyak make-up ke sekolah di hutan. Mungkin untuk membalut luka yang nggak tampak. 

Sementara Bjørn Tore, juga 19 tahun, mengaku nggak punya teman dan takut dirinya menyebalkan. 

Lalu ada Romain dari Belanda, pemuda pemurung yang mengaku sulit menghadapi hidupnya, bahkan untuk merasa ‘hidup’. Tragis sih. 

Setiap dari mereka nggak hanya harus belajar bertahan dari dinginnya salju, tapi juga dari ketakutan yang membekukan hati mereka sendiri.

Review Film Folktales 

Selepas nonton, menurutku Ewing dan Grady nggak menyuguhkan alur cerita dramatis yang dibuat-buat. Mereka membiarkan transformasi itu tumbuh alami, dari ketidakpastian menjadi keyakinan kecil, dari nyala api yang nyaris padam hingga menyala penuh. 

Aku masih ingat momen ketika Hege berkata, “Apiku jelek banget,” setelah malam pertamanya berkemah sendiri. Namun, malam berikutnya, aku diperlihatkan dia berbaring dengan tenang di tenda, ditemani api unggun dan seekor anjing. Dia berhasil.

Nggak semua jalan mulus. Romain sempat menyerah. Namun menjelang akhir, dia dan Bjørn menjadi teman akrab, tertawa bersama, dan berhasil melakukan hal-hal yang mereka pikir nggak mampu, misalnya membuat api, memimpin anjing-anjing, dan yang terpenting menjalin hubungan.

Secara sinematik, film ini luar biasa indah. Menyajikan lanskap Arktik yang cantik. Tampak mata anjing husky yang biru membeku, daun bersalju yang gemetar, dan aurora yang menyala hijau di langit malam. Semua itu berpadu dengan narasi tentang mitos Nordik perihal Odin, para Norn, serta benang merah takdir yang membelit ranting-ranting pohon. Seolah-olah legenda itu bukan dongeng, tapi benar-benar hidup dalam diri para remaja ini.

Bagiku, jelas film ini bicara soal pentingnya warisan sejarah, tentang menyulam kembali koneksi yang putus antara masa kini dan masa lalu. Tontonlah! Dan percayalah, setelah nonton ini, Sobat Yoursay akan menemukan arti bahagia dan hidup yang sesungguhnya. 

Selamat nonton, ya!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak